Sukamto dan Mimpi Sejuta Komposter

Dia menemukan alat pengolah sampah menjadi pupuk organik cair. Selain bertekad memproduksi sejuta unit komposter, dia juga memproduksi pupuk organik kemasan.more


Pestisida Nabati "Made in" Subang

Ia mengabdikan hidupnya untuk memperbaiki alam. Berjuang mengembalikan kesuburan tanah. more


Senja Sepi SK Trimurti

"Ada siapa Nah", begitu tanyanya lemah dalam bahasa jawa kepada Inah, kerabat yang setia merawat mantan mentri ini. "Saya eyang ," begitu sapa saya, sambil saya elus lembut tangan keriputnya yang tergolek lemas. Eyang Tri pun membalas dengan menggenggam tangan saya. Ia tak mengenal saya, tapi ia begitu senang melihat kedatangan saya.
Tubuhnya renta. Uzur dan sakit-sakitan. Ia merasa dilupakan.more


Gunung Ulah Dilebur, Lebak Ulah Dirusak

"Suatu saat nanti, saat manusia sudah tak mempedulikan alam lagi, akan timbul panas yang membakar, penyakit keras, makanan susah, gempa bumi. Manusia akan menderita. Semua itu akibat alam yang rusak." more


Kenangan yang Tak Memudar

Tak pernah mudah kehilangan seseorang yang kita cintai. Apalagi jika kita tak pernah tahu pasti apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal. Hari-hari berlalu dalam kegamangan antara harapan, putus asa dan kenyataan. Hanya barang-barang peninggalan jadi pegangan. Bagi keluarga aktivis yang diculik, Surat, pakaian, dan barang-barang pribadi menjadi kenangan manis tapi getir. more


Sepatumu adalah Deritaku

Anak-anak pinggiran menyuarakan nasib buruh anak Indonesia melalui film dokumenter. Awal Juli lalu film itu diputar pada Festival Anak Pinggiran.more


Membangun Surga di Maruyung

Mereka membuka kampung hijau. Hidup secara organik. Memenuhi kebutuhan sendiri. Dan, makmur.more


Sebuah Sekolah di Gang Pelangi

Sekolah alternatif itu telah membuat para perempuan sadar gender. Namun, ada yang menuduh mereka melakukan kristenisasi.more


Celaka Hantui Buruh Konstruksi

Undang-undang memang mengatur penerapan kesehatan dan keselamatan kerja. Namun, angka kecelakaan kerja tetap tinggi. Banyak kasus ditutup-tutupi.more


Tak Kapok Mengayuh Pedal

"Hanya orang gila yang mau naik sepeda ke kantor di jalanan Jakarta yang panas dan semerawut". Begitu pendapat Sacha Vandiest saat diajak teman lamanya bersepeda ke kantor. Dan saya pun berpendapat serupa, sampai saya mencoba menyusuri jalan sepanjang tebet hingga mega kuningan bersama Sacha. Hasilnya? .more


Impian Artis Lampu Merah

Sejak beberapa tahun lalu sosoknya selalu menarik hati saya. Hampir setiap hari, sepulang liputan di kantor wakil presiden, saya melihatnya berdiri di bawah patung pak tani, lengkap dengan seragam SD-nya. Hingga satu hari, berbekal coklat, saya menghampiri dan berkenalan dengannya. "Riska," ucapnya malu-malu. Sejurus kemudian kami sudah ngobrol asik di bawah pohon di tengah bundaran patung pak tani. "Kak, ada apa sih didalamnya. Setiap hari bisanya cuma liat dari sini doang, pengin deh masuk. Tapi takut," tanyanya sambil menunjuk ke arah Hotel Arya Duta. Matanya terbelalak tak percaya, ketika tangannya saya gendeng memasuki hotel mewah itu. Saya sempat khawatir Riska pingsan, karena mukanya pucat dan tangannya dingin, ketika kakinya melangkah masuk pintu hotel. Betapa kuat perjuangan gadis kecil ini menggapai cita.
Meski kepala sekolah melarang dan diusir polisi.more


Bawa Aku Pulang!

Inilah salah satu liputan terberat saya. Berada di tengah bocah-bocah yang rindu pelukan dan belaian sayang, selama 24 jam, benar-benar menguras seluruh tenaga dan emosi saya. Sekuat tenaga saya menahan butiran bening, yang kerap nyelonong menetes. Terlebih saat mereka menahan saya pulang, hingga sepatu saya mereka sembunyikan. Cuma sekejap dekapan hangat yang bisa saya berikan. Mereka cuma rindu cium sayang bunda dan dekapan hangat ayah. Mereka haus belaian sayang. Mereka rindu keluarga.more


Rama Menulis dengan Hati dan Rasa

Kisah jurnalis tunanetra yang gigih mencari berita, meski tak mampu melihat dunia.Rama Aditia (25) bukan jurnalis sembarangan. Ia seorang jurnalis tunanetra. Lelaki ini memulai karier dari media Mitra Netra News Online dua tahun lalu, sebuah situs yang dikelola oleh para tunanetra di Jakarta. Kini ia bekerja untuk sebuah situs terkenal, detik.com.more


Susi Susanti Tak Tersentuh Askeskin

Dia berjuang melawan radang otak. Ada tipu dan janji-janji.more


Manis dan Pahitnya Petani Tebu

“WIS. Pokoknya lebih enak sekarang daripada dulu! Enak sekarang daripada dulu! Pokoknya saya itu kalau kurang (modal), ngambil biaya dari pabrik dikasih untuk kerja berapa hektare. Pokoknya enak sekarang daripada dulu!” Mulyo (50), petani tebu itu bersemangat menceritakan kisah suksesnya.more

Yang Bohong Soal Lumpur Porong

Hari itu Tri Utami hanya terpaku memandangi rumahnya yang terendam lumpur panas. Ibu muda yang tinggal di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, ini marah dan kecewa. Ia tidak rela rumah yang ditinggalinya sejak kecil itu disapu lumpur panas.more

Thu, 22 Jun 2006 15:57:34 +0700



Sidoarjo.- Hari itu Tri Utami hanya terpaku memandangi rumahnya yang terendam lumpur panas. Ibu muda yang tinggal di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, ini marah dan kecewa. Ia tidak rela rumah yang ditinggalinya sejak kecil itu disapu lumpur panas.

Lumpur yang mengandung zat beracun hidrogen sulfida itu menyembur dari sumur pengeboran gas PT Lapindo Brantas, perusahaan kongsi Bakrie Group, Medco Energy dan Santos.

Bakrie Group adalah perusahaan milik keluarga Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie. Sedangkan Medco Energy adalah perusahaan milik politikus Arifin Panigoro. Dan Santos adalah perusahaan asal Australia.

Kepada VHR, Tri Utami hanya bisa menyampaikan kekesalannya atas ulah PT Lapindo Brantas. “Nggak bertanggung jawab! Kalau gitu, kan dia dah cuci tangan! Toh kesalahan juga dari dia, lho ya! Makanya, ndak tahu gimana solusinya? Warga ndak dikasih tahu. Mereka kan kalau tahu ada gitu, gimana antisipasinya buat warga? Apa disuruh ngungsi, apa gimana? Kan nggak ada! Dah cuci tangan!”

Kini, hampir seratus hektar sawah dan ribuan rumah penduduk Desa Renokenongo, Siring, dan Jatirejo menjadi lautan lumpur beracun. Choir, penduduk Desa Siring, memberikan kesaksian, para karyawan perusahaan pengeboran gas itu tinggal di sebuah rumah kontrakan di Siring, tak jauh dari lokasi pengeboran.

Empat hari sebelum lumpur panas meluap, para karyawan itu diam-diam mengemasi barang-barang mereka dan meninggalkan desa itu. Mereka tidak memberi tahu warga agar bersiap-siap mengungsi dan menyelamatkan hartanya.

Ternyata peralatan milik PT Lapindo sudah dipindahkan dari lokasi pengeboran sebelum lumpur itu meluap. “Kontraktor yang ngebor itu semua kontraknya di sini. Langsung meleduk itu. Langsung ndak ada orangnya. Dua hari dah nggak ada. Katanya, dah habis kontraknya. Lho kok... sudah pergi ke Jakarta. Dah habis kontraknya. Lha gimana Pak? Ya ndak tahu. Alat-alat dah diangkat dua hari, tiga hari, empat hari dah habis.” kata Choir.

Kesaksian Choir itu diperkuat oleh Surti, warga yang kini mengungsi di Pasar Porong Baru. Menurut perempuan setengah baya ini, para pekerja perusahaan milik adik kandung Aburizal Bakrie itu menghilang setelah penduduk berunjuk rasa meminta agar semburan lumpur panas ditutup.”Pegawai Lapindo tok yang tahu. Kemas-kemas dua hari. Dua hari itu orang desa kan demo ke sana, minta ditutup. Jangan sampai ke desa. Malamnya, pegawai Lapindo boyongan semua. Pada ngeringkesin alatnya dewe-dewe! Pada minggat kabeh!” kisahnya.

Kenyataan itu membuat Wondo, juga warga yang lain, geram. Dia menuduh PT Lapindo pengecut karena tidak bertanggung jawab di depan rakyat. “Ini kan sudah perang rakyat dengan lumpur, tapi musuhnya ini pengecut! Sudah tahu dia yang ulah, kenapa dia menghindar?” kutuknya.

Manajer Sumber Daya Manusia PT Lapindo Brantas Sabastian Ja’far menyangkal bahwa para karyawannya melarikan diri. Menurut dia, pihak perusahaan tetap bertangung jawab atas kejadian itu dan terus berupaya menghentikan banjir lumpur panas. PT Lapindo Brantas telah mengerahkan traktor-traktor untuk menangani masalah itu.

Namun Sabastian mencoba mengelak. Menurut dia, bencana itu bukanlah kesalahan perusahaannya, karena lumpur itu datang dari perut bumi. Yang dilakukan PT Lapindo saat ini hanyalah menggelar doa bersama. katanya, semburan lumpur panas itu akibat gempa tektonik di Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 27 Mei.

“Memastikan itu bukan hak kita. Perhitungan teknis bisa kita lakukan berdasarkan data-data yang ada. Kapan pastinya, itu bukan hak kita. Ini masalahnya perut bumi, produksi perut bumi nggak ada yang tahu. Kenapa sekarang kita kumpul? Istigosah, berdoa bersama, karena sebetulnya kondisi yang ada itu kalau hati kita satu, niat kita untuk menyelesaikan masalah juga satu, insya-Allah doa itu akan di kabulkan,” katnya.

Tentu saja alasan itu dinilai tidak masuk akal. Menurut ahli geologi Andang Bachtiar, jika semburan lumpur itu terjadi akibat gempa di Yogyakarta, maka dalam waktu beberapa hari semburan lumpur itu akan berhenti dengan sendirinya.

”Kalau ada gempa, itu disebut liquid fection. Itu terjadi beberapa jam saja setelahnya, dan itu di lapisan-lapisan dangkal. Dan akan selesai dalan sehari dua hari. Seperti yang terjadi di Wedi, Batul, dan Pambanan,” jelasnya.

Menanggapi soal dampak lumpur panas itu terhadap warga yang menjadi korban, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari sepertinya mengambil kesimpulan secara gegabah. Dia langsung saja mengatakan bahwa banjir lumpur panas itu tidak berdampak pada kesehatan warga sekitar.

Tetapi pernyataan tersebut bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Menurut pengamatan VHR, warga mengalami gejala sakit kepala, mual, demam tinggi, dan gangguan pernafasan setelah banjir lumpur panas itu menerjang dan menggenangi permukiman warga.

Menurut Kepala Rumah Sakit Bhayangkara di Porong, Hadi Wahyana, sampai hari ke-17 setelah bencana itu terjadi, rumah sakitnya kebanjiran lebih dari 600 pasien yang menderita gangguan kesehatan akibat lumpur panas.

“Rumah sakit kami sudah menangani kasus Lapindo sejak 31 Mei. Sampai sekarang tanggal 17 sudah ada 678 pasien, kumulatif ya. Dari 678 pasien, 617 orang rawat jalan dan 61 orang rawat inap,” jelasnya.Lumpur panas itu kini sudah mencapai lebih dari 5000 meter kubik dan akibatnya hampir tiga ribu warga Desa Renokenongo, Siring, dan Jatirejo kehilangan tempat tinggal.

Lumpur itu juga menenggelamkan pabrik-pabrik di kawasan industri Sidoarjo dan menimbulkan kerugian ekonomi mencapai ratusan miliar rupiah. Bukan hanya itu, kini ribuan buruh menjadi pengganggur akibat pabrik-pabrik tempat kerja mereka terendam lumpur panas. Akankah PT Lapindo terus berbohong dan cuci tangan? [End] (Liza Desylanhi).

Naskah ini dimuat di vhrmedia.net pada 22 Juni 2006

“WIS. Pokoknya lebih enak sekarang daripada dulu! Enak sekarang daripada dulu! Pokoknya saya itu kalau kurang (modal), ngambil biaya dari pabrik dikasih untuk kerja berapa hektare. Pokoknya enak sekarang daripada dulu!” Mulyo (50), petani tebu itu bersemangat menceritakan kisah suksesnya.

Hidup petani tebu seperti Mulyo tampaknya makin membaik. Penduduk Desa Rejo Agung, Semboro, Kabupaten Jember, Jawa Timur, ini telah menjadi petani tebu lebih dari 40 tahun. Menurut dia, nasib petani tebu selama tiga tahun ini semakin manis saja seperti gula. Padahal, dulu nasib petani tebu tak semanis tanamannya.

Dulu, tebu rakyat pernah mengalami masa kejayaan. Namun, akhirnya jatuh setelah dikelola oleh koperasi unit desa. Banyak petani yang kapok menanam tebu. Sebab, selama dikelola oleh KUD, harga tebu naik turun, tidak pasti. Para petani pun mengincar komoditas lain seperti jeruk, padi, ataupun jagung. Akibatnya, kebutuhan bahan baku pabrik gula di Semboro tak terpenuhi dan produksi gula pun merosot.

Kini tebu rakyat bangkit lagi. Tengoklah sawah-sawah di Rejo Agung! Sepanjang mata memandang, yang tampak adalah rumpun tebu subur yang menghijaukan sawah-sawah di sana. Sebagian perkebunan tebu saat ini sedang dipanen, sebagian lagi sudah ditanami kembali.

Pabrik Gula Semboro adalah satu di antara ribuan pabrik gula warisan penjajah Belanda yang masih tersisa di Jawa. Jika kita mendekati pabrik gula ini, aroma harum gula tercium di mana-mana. Setiap hari pabrik tua yang mempekerjakan ratusan buruh ini menghasilkan gula 3.000 hingga 3.500 kuintal.

Menurut Parman, sinder kebun tebu setempat, kenaikan harga gula di pasaran membuat petani tebu semakin sejahtara selama tiga tahun terakhir ini. Para petani kini kembali menanam tebu. Bahkan, tidak sedikit petani yang menyewa sawah untuk ditanami tebu.

“Sebelumnya, tahun 2001 itu, di luar harapan. Harganya minus, pas-pas, untuk petani dengan biaya yang digunakan dengan hasil penjualan. Gak gairahlah petani tanam tebu. Dengan adanya harga ini, petani lomba-lomba cari sewa,” kata Parman.

Produktivitas perkebunan tebu di Jember meningkat tajam setelah ditemukan bibit unggul Bulu Lawang, sering disingkat BL. Bibit tebu BL menghasilkan gula lebih banyak dibanding varietas tebu sebelumnya.Selain itu, pengelolaan perkebunan tebu kini ditangani oleh Koperasi Tebu Rakyat, bukan lagi KUD. Pabrik Gula Semboro mampu menjalin kerja sama yang baik dengan koperasi tebu rakyat.

Harga tebu dari petani kini ditentukan melalui proses lelang, yang dikelola oleh koperasi, asosiasi petani, dan pabrik gula. Tahun ini harga tebu melalui proses lelang disepakati Rp 4.800 per kilogram. Jika tim lelang berhasil menjual di atas harga yang disepakati, maka petani tetap akan mendapat bagian 25% dari selisih harga tersebut.

“Harga talangan. Sebelum harga itu pasti dibeli berapa, petani dapat harga talangan. Kelebihnnya nanti dibagi setelah panen total seluruh Semboro. Umpamanya harga jualnya Rp 5.300 dikurangi Rp 4.800, kan sisanya Rp 500. Nah, petani dapat berapa persennya gitu, sekitar 25%,” tambahnya.

Parman menyebutkan, untuk satu hektare lahan tebu, setiap petani harus menyediakan modal sekitar Rp 4 juta untuk pembelian bibit dan pengolahan lahan, belum termasuk harga pupuk bersubsidi. Namun koperasi memberikan pinjaman lunak yang disebut cost over latting atau uang tunggu sebelum panen yang ditetapkan Rp 750.000 per hektare.

Hasil perkebunan tebu sekarang pun lumayan. Kata Parman, setiap hektare kebun tebu mendatangkan keuntungan Rp 8 hingga Rp 10 juta.

“Kalau di sawah itu, bisa Rp 10 juta per hektare, untuk petani sendiri setelah dipotong pinjaman. Menyewa ke petani itu Rp 8 juta per hektare untuk satu masa tanam,” kata Parman lagi.

Besarnya keuntungan menanam tebu membuat tebu menjadi komoditas primadona Jawa Timur, selain tembakau.Agus Budi merupakan salah seorang yang tergiur untuk menanam tebu. Ia segera bergabung dengan koperasi untuk memasarkan hasil tanamannya. Sebelumnya, pria berkumis lebat ini memilih memasarkan sendiri hasil panennya. Dengan menjadi anggota koperasi, kini Agus juga mendapat kredit permodalan dan petunjuk menanam tebu yang baik agar hasilnya lebih optimal.

“Petani rakyat karena itu kerja sama antara petani dengan pabrik gula. Ya jelas menguntungkan. Banyak hasil dari pabrik gula. Kita dapatkan, nuwun sewu ya di sana itu banyak kaya yang karena tebu,” kata Agus Budi.

Budi pun potimistis kelak petani tebu tak bernasib pahit lagi. Kini dia menyandarkan harapan pada komoditas satu ini.“Saya kira menjamin, karena sepertinya pemerintah sekarang rupa-rupanya sudah perhatikan petani tebu. Kalau dulu kan nggak. Ya alhamdulillah...” tambahnya.

Kualitas tananam tebu Jawa Timur diakui sebagai yang terbaik di dunia. Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, Arum Sabile, masalahnya kadar gula dalam tebu produksi Jawa Timur masih rendah. Masalah lainnya, peralatan pabrik gula Indonesia masih sangat tua. Hanya sekitar 25% peralatan Pabrik Gula Semboro yang tergolong baru, sisanya adalah peninggalan Belanda.

“Segera lakukan perubahan radikal oleh pemerintah. Revitalisasi pabrik secara ekstrem. Saya berharap SBY berani membalik arus dan gelombang sejarah. Karena kalau dilakukan revitalsasi pabrik gula, kalau pemerintah mau keluar uang, saya punya keyakinan pemerintah tidak akan rugi, bahkan bisa dijadikan ‘mesin pencetak uang’,” kata Arum Sabile yakin.

Untuk menjamin stabilitas harga tebu, perlu pembangunan pabrik gula yang terintegrasi dengan produksi etanol, salah satu jenis alkohol. Kata Arum, jika harga gula di pasar dunia anjlok, maka pabrik gula bisa memproduksi etanol sehingga harga tebu tidak merosot. Pabrik terintegrasi seperti ini sudah dilakukan di Brazil, di mana pabrik gula juga memproduksi etanol. Di Brazil etanol merupakan bahan bakar kendaraan bermotor sebagai alternatif bahan bakar fosil.

Masalahnya, kata Arum, adalah permodalan. Sebab, untuk mendirikan pabrik gula terintegrasi membutuhkan dana tidak sedikit. Dia menghitung, untuk mendirikan pabrik di atas tanah seluas 20 hektare dengan teknologi lokal membutuhkan dana Rp 12 triliun.

Arum juga menghitung, keuntungan dari investasi sebesar itu juga tidak kecil. Pabrik tersebut bisa menyerap 10 ribu hingga 15 ribu tenaga kerja. Selain itu, swasembada gula bisa dicapai pada tahun 2007. Ssaat ini Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan gula dalam negeri. Pada tahun 2005 hanya mampu memproduksi 2,3 juta ton guna memenuhi kebutuhan 2,4 juta ton gula nasional.

“Dari produksi tebu yang 31 juta ton, sebenarnya bisa dipacu lagi produksi gula dengan peningkatan rendemen (kadar gula dalam tebu). Kalau diupayakan naik 1% saja, maka akan ada tambahan gula 310 ribu ton untuk tahun ini, tahun 2007 2,6 juta ton. Kalau dikawal benar, maka tahun 2007 nggak perlu impor!” tambahnya.

Ternyata di tengah kisah manis petani tebu tersisip juga kisah pahit. Rupi’ah misalnya. Ia mengaku para petani di sana kesulitan mendapatkan pupuk selama setahun terakhir ini. Tanpa pupuk dan irigasi yang baik, tanaman tebu tidak akan tumbuh dengan baik. Karenanya, Rupi’ah mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyelesaikan masalah kelangkaan pupuk.

“Karena tebu nggak akan hidup kala pupuk nggak ada dan air kurang memadai. Nggak tahu pupuknya ke mana! Nggak hanya petani tebu, petani yang lain juga. Ada uangnya, mau beli saja repot. Sampai antre seperti antre beras. Yang sebenarnya, di bawah apa karena produksi, investor apa di tangan buto ijo? Tolong, Bapak, saya minta dengan hormat bagaimana kebijaksanaan Bapak supaya petani tebu bisa terima pupuk sesuai harapan. Sudah ditanam dua bulan, pupuknya belum ada. Anjuran Menteri Perkebunan: sambil nabur sambil memupuk. Nek pupuknya ndak ada, pakai apa, Pak? Ini suka duka petani tebu!” kata Rupi’ah dalam pertemuan dengan Presiden Yudhoyono.

Sayangnya, SBY tidak bisa menjamin ketersediaan pupuk bagi petani tebu. Katanya, produksi pupuk nasional merosot gara-gara produksi gas menurun. Padahal, gas alam adalah salah satu bahan baku pupuk urea.

“Nah, menunggu sampai cukupnya gas itu, kita akan impor dari Ukraina. Secara nasional memang ada persoalan dalam gas kita yang mempengaruhi ketersediaan pupuk. Tetapi saya sudah bicara ke Menteri Pertanian, untuk Jawa Timur tahun depan harus ditambah. Dengan demikian, harapan kita yang ditunggu-tunggu bisa dibantu secukupnya. Kalaupun tidak bisa sekaligus, tapi bisa bertahap, agar tidak terlalu jauh antara kebutuhan dan ketersediaan,” jawab Presiden dalam pertemuan itu.

Sudah berabad-abad perkebunan tebu dan pabrik gula di Jawa menjadi sektor ekonomi yang menguntungkan. Gula hasil produksi Jawa pada masa kolonial Belanda pernah mendominasi pasaran gula dunia. Tapi, sejak Indonesia merdeka, produksi gula terus menurun... dan akhirnya Indonesia menjadi pengimpor gula. Akankah para petani Semboro mampu membangkitkan “Gula Jawa”? [END]. Liza Desylanhi

Tulisan ini dipublikasikan di vhr media .com pada 12 Oktobert 2006

Dia berjuang melawan radang otak. Ada tipu dan janji-janji.

Di pinggir lintasan lari Stadion Utama Gelanggang Olah Raga Bung Karno, Senayan, Jakarta Selatan, Susi Susanti duduk bersimpuh memangku Fahmi Fitroni. Berbekal alas koran dan payung kecil pelindung dari terik mentari, setiap Minggu Susi dan anak keduanya itu duduk di sana.
Di atas koran itu berjejer dokumen dari rumah sakit yang menyatakan Fahmi ((9) mengidap radang otak. Ada juga surat penyataan tidak mampu dari Pemerintah Kota Serang dan foto-foto Fahmi terbujur kaku dengan badan kurus kering. Di depan Susi terdapat kotak amal dari kayu cokelat dan sebuah tulisan ”Mohon bantuannya untuk biaya pengobatan anak yatim, Fahmi Fitroni, yang mengidap radang otak”.

Penampilan Susi tak seperti pengemis. Pakaian dan kerudung yang dikenakannya bersih. Wajah ovalnya yang berhidung mancung mulai keriput. Dahinya juga penuh kerut, lingkaran matanya menghitam. Padahal perempuan ini baru berusia 35 tahun.
Fahmi, bocah berkulit putih itu juga bersih dan terawat. Kakinya bersilang kaku. Tulang rusuknya menonjol seperti piano.

Sambil terus memeluk Fahmi dan sesekali menciumnya, perempuan kelahiran Dumai itu bertutur. Dulu Fahmi gemuk, lucu, dan menggemaskan. Tingkahnya selalu mengundang tawa siapa pun yang melihatnya. "Malah Fahmi itu lahirnya besar banget, 4,2 kilo," kata Susi.
Namun, petaka datang pada suatu Jumat siang beberapa hari setelah ulang tahun ketiga Fahmi. Hari itu Susi menitipkan Fahmi kepada seorang karyawan rumah makan milik orang tuanya. Namun, tiba-tiba Fahmi menghilang. Setelah dicari ke mana-mana, Fahmi ditemukan orang tua Susi tak sadarkan diri di kamar mandi. Sedangkan si pembantu yang dititipi kabur, tak jelas ke mana. "Fahmi digendong pakai gendongan duduk itu," kisah Susi sembari menyeka air matanya.
Ternyata Fahmi mengalami koma. "Pas saya pulang, anak saya sudah di rumah sakit," ujar perempuan itu sambil mencium kening Fahmi.
Dokter mendiagnosis Fahmi terkena radang otak dan harus segera dioperasi. Namun Susi tak punya biaya. Setelah 15 hari dirawat di Rumah Sakit Serang, Fahmi dinyatakan telah mati. Mendengar berita itu Susi bagai tersambar petir. Ia menangis sejadi-jadinya. "Saya belum puas ngobatinnya,” katanya.
Tapi Tuhan mungkin mendengar ratap tangis Susi. Setelah hampir dua jam jantung Fahmi tak berdetak, tiba-tiba tubuhnya bergerak. Bocah itu segera dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta untuk penanganan lebih lanjut.

Berbekal kartu Jaring Pengaman Sosial dan surat keterangan tidak mampu dari Bupati Serang, Susi membawa Fahmi ke Jakarta. Namun, sampai di RSCM, Susi kembali kecewa. Jangankan mendapatkan pengobatan memadai, untuk mendaftarkan Fahmi sebagai pasien saja tidak dilayani. "Maunya gratis saja. Emangnya kami mau makan surat?” Kalimat pedas seorang petugas rumah sakit itu terpatri di benak Susi. “Fahmi dibiarin saja, nggak ditangani," ujarnya.
Susi harus bersitegang dengan petugas rumah sakit. Akhirnya Fahmi mendapat kamar kelas III. Dokter RSCM menyatakan Fahmi harus segera dioperasi, jika tidak nyawa bocah itu tidak tertolong lagi.

Dokter menyodorkan kenyataan menyesakkan dada, biaya operasi Rp 40 juta. "Sedangkan untuk nebus obat yang harganya mencapai jutaan rupiah kami sudah ngos-ngosan," kata Susi.
JPS hanya bisa membiayai untuk obat tidur, sementara obat yang penting untuk Fahmi tidak termasuk dalam tanggungan Jaring Pengaman Sosial itu. Seluruh harta benda Susi sudah dijual, namun tidak cukup.

Setelah dirawat sepuluh hari, Fahmi disarankan dokter untuk rawat jalan, karena percuma saja jika hanya dirawat tapi tidak dioperasi. "Katanya sudah nggak bisa diapa-apain. Kata dokter, anak saya ini tidak bertahan hidup sampai setahun. Dokter dah angkat tangan. Tapi masa saya harus putus asa?" katanya.

Menurut perempuan asal Kampung dan Desa Kramatwatu, Serang Banten, ini Fahmi memang sering menangis dan mengerang kesakitan, namun tak bisa bicara. Setelah menangis keras, biasanya Fahmi kejang. Untuk mengurangi kejang itu Fahmi harus diberi obat yang dimasukkan lewat dubur. Padahal, sehari Fahmi mengalami kejang sampai tiga kali dan Susi harus memasukkan tiga butir obat seharga Rp 43 ribu per butir ke dubur Fahmi. Dalam sebulan Susi harus menebus obat Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta.
Beban Susi makin berat setelah suaminya meninggal dunia enam tahun lalu, karena frustrasi dan tertekan. Ayah Susi pun menyusul tak lama kemudian. Kini tak ada lagi keluarga tempatnya bersandar. Bahkan, warung nasi orang tuanya terpaksa dijual. Sementara keempat anaknya yang lain juga membutuhkan biaya. Imam, si sulung, kini sudah kelas I SMP. Adik perempuan Fahmi kini kelas I SD. Dua adik Fahmi yang lain belum sekolah.

Untuk menutup biaya pengobatan Fahmi, ibu lima anak ini menempuh berbagai cara. Semua jalan ia coba. Semua pintu instansi pemerintah sudah diketuk. Beberapa kediaman pejabat sudah ia sambangi. Bahkan, beberapa stasiun televisi yang mempunyai program uluran kasih sudah didatangi. Semua sia-sia. Yang didapat hanya janji.
Jika mujur, Susi mendapat uluran tangan dari instansi yang didatangi. Namun ia harus menandatangani kuitansi kosong. Ketika ditanya, petugas beralasan sibuk, tidak sempat menulis nominal bantuan yang diberikan.

Susi juga pernah mendatangi kantor Gubernur Banten. Tapi bukanya bantuan yang didapat, ia malah diusir, dianggap pengemis dan mengotori kantor gubernur.
Pernah pula dia mendatangi kantor pusat sebuah partai politik. Di depan sejumlah wartawan, pengurus partai itu berjanji membantu pengobatan Fahmi sepenuhnya. Bahkan, Susi pun diberi surat pernyataan bahwa partai itu siap membantu. Berbekal surat itu Susi pulang dengan dada lega. "Kayaknya waktu itu bener-bener deh, bapak itu mau nolong. Tapi sampai setahun lebih saya terus nelpon, katanya persetujuannya lagi diproses. Saya nunggu terus, nelpon terus. Tapi nggak ada. Bohong," ujarnya geram.

Susi tak menyerah. Sampai ketika seseorang yang ditemuinya di rumah sakit menyarankan untuk ke Istora Bung Karno setiap hari Minggu. "Di Senayan banyak menteri dan pejabat berolahraga, siapa tahu bisa bertemu mereka dan minta bantuan,” kata orang itu.
Pertama kali mangkal di Senayan Susi diusir petugas keamanan. Tapi dia nekat, tetap duduk di pinggir lintasan. Lama-lama dibiarkan saja. “Tapi sampai sekarang belum pernah ketemu menteri," ujarnya.Tidak semua orang bersimpati pada keadaan Susi. Tak jarang ibu ini menangis karena ulah pengunjung yang melecehkan. "Ada yang ngasih duit seribu rupiah dilemparin ke muka saya.”

Ada juga seorang pria yang hobi lari pagi dan sering melontarkan pertanyaan teramat menyakitkan. "Belum mati-mati juga, Bu, anaknya?” kata laki-laki itu.
Susi pun pernah dibohongi wartawan sebuah media cetak yang katanya ingin menolong. Wartawan itu menuliskan kisah Susi di medianya dengan harapan ada pembaca yang mau menolong. Surat-surat dan hasil diagnosis Fahmi yang asli dibawa wartawan itu berikut foto-foto Fahmi. Wartawan itu sempat beberapa kali berkunjung ke rumah Susi. Suatu hari beberapa pembaca media itu mendatangi Susi di Senayan. Mereka bilang telah menyumbang lewat si wartawan itu. "Tapi, sampai saat ini saya nggak terima uang itu," ujarnya menahan sedih. Si wartawan pun tak pernah muncul. "Kayaknya saya hanya dibisnisin saja."

Kini Susi kerap dihajar tekanan darah tinggi. Dan putri ketiganya mengalami pembesaran kelenjar tiroid. Tapi ibu ini tak menyerah. "Saya jalanin saja sepanjang umur saya, sekuat-kuatnya saya....”[end]

Foto: Susi Susanti bersama Fahmi mengharap belas kasih pengunjung Gelora Bung Karno (Liza Desylanhi)
Naskah ini dipublikasikan di situs VHRonline pada, 13 Juni 2007.

Kisah jurnalis tunanetra yang gigih mencari berita, meski tak mampu melihat dunia.

Rama Aditia (25) bukan jurnalis sembarangan. Ia seorang jurnalis tunanetra. Lelaki ini memulai karier dari media Mitra Netra News Online dua tahun lalu, sebuah situs yang dikelola oleh para tunanetra di Jakarta.

Kini ia bekerja untuk sebuah situs terkenal, detik.com.Tokoh yang pertama kali ia wawancarai pun pejabat tinggi negara, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo. Ditemani seorang fotografer, Rama berhasil mengorek informasi dari menteri ini.

"Mulanya bingung. Kalau nggak ada pendamping, sulit sekali rasanya," kata Rama.Untuk mengenali narasumbernya, Rama terlebih dahulu selalu memastikan orang yang akan ia wawancarai adalah benar calon narasumber yang ia maksud.

Lebih sulit lagi jika meliput suatu acara yang dihadiri banyak orang. Namun, pria gempal ini tak kehabisan akal. Ia selalu menempel jurnalis lain yang bermata normal. Rama juga tak segan minta bantuan jurnalis lain untuk mencari narasumber yang ia maksud.

Sebagaimana jurnalis lain, Rama pun bisa bekerja secara profesional. Ia selalu mematuhi tenggat yang ditentukan, meski harus menghadapi banyak kendala. "Mengejar narasumber itu bukan pekerjaan mudah," kata Rama.

Agar dapat mendiskripsikan narasumber, Rama akan menanyainya secara detail tentang penampilan si narasumber. "Perlu agreement dengan narasumber. Minta tolong narsum duduk di depan kita, menjelaskan misalnya seperti apa pakaiannya," katanya.Berbekal perangkat lunak Screen Reader, Rama dapat menulis beritanya sendiri. Perangkat ini dibuat khusus untuk tunanetra.

Setiap jarinya menekan keyboard, komputer itu akan "membaca" huruf yang ia tekan. Dengan perangkat itu pula dia dapat berselancar di internet untuk melakukan riset sederhana. Rama juga bisa meng-upload berita sendiri.

Sejak dulu Rama memang bercita-cita menjadi jurnalis. Ia mengaku ingin mendobrak anggapan bahwa tunanetra hanya bisa menjadi tukang pijat. "Sampai saat ini sebagian besar orang masih melihat dari statusnya, bukan dari skill yang dimilikinya," ujarnya.

Rama belajar jurnalisme dari Yayasan Mitra Netra. Di sana ia belajar menulis, menggunakan komputer, hingga jurnalisme. Bahkan yayasannya sudah menerbikan buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach edisi khusus untuk tunanetra. Buku tersebut bisa diakses para tunanetra yang ingin belajar jurnalisme.

Menurut penulis sekaligus editor Mitra Netra, Aria, pelatihan di bidang jurnalistik ini mulai dirintis sejak 1998. Mitra Netra bekerja sama dengan kantor berita Antara menyelenggarakan pelatihan jurnalisme. Mereka pun menerbitkan media berbasis internet.

Media itu dirintis oleh enam orang yang bekerja sebagai editor dan fotografer. Selain itu, media ini memiliki kontributor di Bandung, Surabaya, dan Makassar. Para tunanetra menuliskan berita melalui situs ini.

Menurut Aria, para tunatera ingin memberikan informasi mengenai kaum tunanetra dari sudut pandang mereka sendiri. "Kami memuat berbagai aspek, pendidikan, sosial, budayanya, kesehatan," katanya.

Mitra Netra juga mengangkat isu-isu aktual, dengan porsi 40 persen. "Mei itu kan ada Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Nah, kami juga sesuaikan dengan isu-isu seperti itu. Desember juga ada hari HAM, AIDS," kata Aria.

Para tunanetra yang baru belajar meliput berita biasanya didampingi jurnalis yang lebih senior.

"Tunanetra pun dapat menjadi jurnalis yang sama baik dan profesionalnya dengan yang lain," kata Aria yakin.Aria yang juga tunanetra, menilai karya jurnalistik para tunanetra punya warna sendiri dalam penulisannya yang diperkaya oleh informasi dari pencerapan indera lain, seperti penciuman dan pendengaran.

"Prinsipnya, karya jurnalistik itu kan karya olah pikir," kata Arya. "Untuk mendapatkan informasi, penglihatan itu salah satu dimensi saja. Selebihnya harus diolah dengan pikiran si wartawan itu, untuk kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan," kata anggota Aliansi Jurnalis Independen ini.

Arya optimistis para tunanetra bisa menjadi perancang grafis ataupun fotografer. Berkaitan dengan itu, Yayasan Mitra Netra bekerja sama dengan Universitas Bina Nusantara mengembangkan perangkat lunak Mitra Netra Tectile Graphic Software. Perangkat lunak ini memungkinkan para tunanetra membuat gambar timbul dengan bantuan komputer. Sebuah kemajuan lagi. Semoga lebih banyak lagi media mempekerjakan jurnalis tunanetra. (E2)

Naskah ini dipublikasikan disitus VHRonlie

Anak-anak bangsal 01 menunggu antrean untuk diadopsi. Mereka rindu keluarga.Bangunan bercat krem dipadu warna pelangi di Cipayung, Jakarta Timur, itu tampak menonjol dari bangunan lainnya. Bangunan seluas 100 meter persegi itu adalah Panti Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa 01. Di dalamnya hidup 69 anak. Mereka terdiri dari bayi baru lahir hingga bocah usia lima tahun. Memasuki tempat ini, kita akan disambut semerbak aroma minyak bayi.Suatu siang di pertengahan Januari 2007 para penghuni panti itu baru saja menikmati santap siang. Setelah kenyang, mereka tidur pulas. Tiap anak mendapat jatah kasur kecil. Sebagian mendengkur pulas. Mungkin dibuai mimpi indah. Lantai dua bangunan itu dipenuhi kotak bayi. Siang itu bayi-bayi di panti tidak tidur. Terdengar celoteh dan tangisan. Dua perawat yang bertugas kewalahan melayani 36 bayi.Bangunan di atas tanah seluas 3.300 meter persegi itu didirikan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun 1986. Tempat itu memang untuk menampung bayi-bayi yang ditinggal ibunya. Ada yang diserahkan ibunya, ada yang diserahkan polisi, ada juga yang dititipkan tunawisma. "Kalau ada tamu, mereka bilang kok saya nggak diadopsi, sih? Kok bunda saya nggak datang-datang," tutur Marwianti, kepala panti, menirukan pertanyaan anak-anak yang mulai besar.Sore hari anak-anak mulai bangun. Ada bingkisan untuk mereka. Mereka sangat gembira menerima hadiah. Bangunan itu mulai ramai. Para penghuninya mulai bermain. Ada yang berteriak-teriak. Ada yang menangis. Sebagian lagi berceloteh dengan teman-temannya.Saat ada pengunjung yang mencari anak untuk diadopsi, bocah-bocah itu akan bersaing keras mencoba menarik perhatian dengan berbagai cara.Alam punya cara tersendiri untuk mencari perhatian. Ia duduk terpaku di lantai. Celananya basah oleh ompol. Anak kelas 0 besar taman kanak-kanak itu kencing di celana. Ketika ditanya mengapa ngompol, dia hanya mengangkat bahu. "Nggak boleh ngompol! Kamu itu hidup di panti! Nggak boleh ngompol. Kamu udah gede," kata pengasuh yang mulai jengkel oleh ulah Alam. Kadang-kadang, pengasuh itu memukulnya sebagai pelajaran.Alam adalah penghuni tertua di situ. Sampai dia umur lima tahun, belum ada pengunjung yang tertarik mengadopsinya. Sementara banyak teman seumurnya yang sudah meninggalkan panti diadopsi oleh keluarga mapan.Alam sebenarnya anak yang menarik. Ia cerdas, ceria, dan gesit. Kepalanya yang pelontos membuat banyak orang gemas padanya. Mungkin cara dia mencari perhatian yang berlebihan membuat pengunjung tidak pernah memilihnya sebagai anak angkat. Usai berganti celana, Alam mulai menikmati film kartun di televisi. Tokoh kesukaannya seorang dokter, meski dia sendiri ingin menjadi polisi. Film kartun membuatnya semakin overacting. Selain kartun, Alam juga suka nonton sinetron. Alam datang ke panti tiga tahun silam, diantar seorang polisi. Ibunya berprofesi sebagai pekerja seks komersial karena dipaksa suaminya. Suatu hari, ibu Alam terlibat tindak kriminal dan dipenjara. Karena tidak ada pengasuh, polisi menitipkan Alam di panti ini."Mama ketangkep polisi, karena punya pacar penjahat," cerita Alam.Selain Alam, penghuni lama di panti ini adalah Arjuna. Anak ini berparas Arab. Ibunya buruh migran di Kuwait. Suatu hari, ibunya diperkosa majikannya dan lahirlah Arjuna. Setelah menitipkan anaknya di panti, sang ibu menghilang tanpa kabar. Ia tak pernah kembali. Surat pun tak pernah dikirimkan. Konon, ibu itu kembali bekerja di Timur Tengah."Aku mau punya mama," kata Arjuna.Lain lagi Ismail. Bocah tiga tahun ini tidak tahu sebenarnya ibunya tinggal tak jauh dari panti ini. Menurut dia, ibunya sudah tiada. Padahal, si ibu tinggal di Panti Bina Laras yang bersebelahan dengan Panti Tunas Bangsa. Bina Laras menampung para perempuan korban pemerkosaan yang mengalami gangguan jiwa. Sudah lima tahun ibu Ismail sakit jiwa, setelah diperkosa orang tak dikenal. Ismail pun lahir di panti itu, lalu ditampung Panti Tunas Bangsa.Alam, Ismail, Arjuna, dan anak-anak panti ini memiliki perilaku yang mirip. Mereka suka mencari perhatian orang-orang yang datang. Menurut Marwianti, anak-anak panti haus kasih sayang. "Kurang kasih sayang menimbulkan mereka jadi overacting. Apalagi kalau ada tamu, jadi overacting. Mencari perhatian," ujarnya. Jika tamu itu laki-laki, anak-anak itu suka memanggil "ayah". Bila yang datang perempuan, mereka memanggil "mama". Tak jarang mereka berterus terang minta diadopsi. Bahkan, banyak yang merengek ikut pulang.Malam sudah larut. Bocah-bocah itu kembali menggantungkan harapan. Hari ini tak ada yang membawa mereka "pulang". Anak-anak itu terus berharap suatu hari ada orang tua yang mau membawa mereka pulang ke rumah, pada sebuah keluarga. (E2)

Naskah ini dipublikasikan disitus VHRonline

Menjual koran untuk menggapai cita-cita. Kepala sekolah melarang. Diusir polisi.Sore itu Riska Amalia duduk di trotoar di sekitar lampu merah Tugu Tani, Jalan Prapatan, Jakarta Pusat. Setelah berjam-jam menjajakan koran, gadis usia 9 tahun ini letih. Sesekali ekor matanya melirik lampu lalu lintas. Dia berharap lampu hijau segera padam dan berganti lampu merah. Saat lampu merah menyala dia segera lari menuju perempatan dan menjajakan koran kepada pengendara yang berhenti."Capeklah. Setiap hari pulang malam. Dengkul pegel. Pengin bisa jalan-jalan kayak anak-anak lain. Cuman, mau gimana lagi?" ujarnya. Kamis 29 Maret itu Riska kurang beruntung. Matahari sudah condong ke barat, namun koran dagangannya masih menumpuk. Petang itu ia baru mengantongi Rp 10 ribu. "Biasanya hari gini sudah habis," katanya. "Ini sih gara-gara mobil-mobil dijalanin melulu sama polisi. Lampu merahnya nggak ngaruh." Akhir-akhir ini penjualan koran Riska merosot. Kian lama bermunculan pesaing baru. Semakin banyak anak sebaya dia berjualan koran. Pada awal bekerja, dua tahun lalu, Riska bisa menjual koran 50 hingga 60 eksemplar setiap hari. "Langganan saya dicegatin ama anak-anak Kebon Sirih," ujarnya. Kini, pelajar kelas V SD Negeri Kenari 05, Jakarta Pusat, itu hanya bisa membawa pulang Rp 30 ribu sehari. Dulu lumayan mudah mendapatkan uang Rp 50 ribu sampai Rp 70 ribu.Riska menjajakan koran untuk membiayai pendidikannya. Sadar biaya pendidikan mahal, dia bekerja keras sejak dini. "Ika pengin jadi dokter bedah jantung. Entar, kalau ada yang kesusahan, nggak mampu, berobatnya gratis saja," katanya. "Dulu bapak saya sakit parah tapi nggak mampu berobat. Akhirnya meninggal." Gadis berkulit gelap ini tiba-tiba menerawang jauh. Ayahnya, Husain, meninggal dunia pertengahan Januari lalu karena serangan jantung, setelah mengalami stroke beberapa lama. Jadilah ibunya, Rustidjah, yang menghidupi Riska dan tiga kakak lelakinya. Sang ibu hanyalah tukang sapu jalan. Upahnya yang hanya Rp 600 ribu per bulan tentu tidak cukup untuk membiayai hidup bersama empat anak yang belum bekerja. Hanya Riska dan Rifki, salah satu kakaknya, yang membantu ekonomi keluarga. "Untuk makan sehari-hari dari hasil Riska dagang," kata Rustidjah. Dulu ayah Riska bekerja sebagai sopir taksi. Karena serangan stroke, kepala keluarga itu tak lagi bekerja. Tumpuan ekonomi keluarga pun pindah ke Rustidjah.Pada tahun 2000 rumah orang tua Riska di daerah Kwitang terbakar. Seluruh harta keluarga itu menjadi abu. Karena tak mampu membangun rumah, keluarga itu pindah ke Kampung Kelapa, Rawa Panjang, Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat. "Sebulan ngontrak 250 ribu rupiah," ujarnya."Migrasi" itu menjadikan Riska menempuh perjalanan jauh untuk ke sekolahnya. Ia harus tetap bersekolah di SD negeri di Jakarta karena di Bojong Gede tidak ada sekolah gratis. Lagi pula di sana tidak ada tempat untuk berjualan koran. Ibunya pun tetap harus bekerja di daerah Kwitang.Setiap hari Riska bangun pada pukul empat pagi. Bersama sang ibu, dia berjalan kaki sepanjang satu kilometer menuju Stasiun Citayam, mengejar kereta listrik pertama agar bisa dapat tempat duduk dan membuka buku pelajaran. "Nggak enak belajar di kereta. Berisik," kata bocah yang selalu meraih peringkat tiga besar di kelas ini. "Ngerjain PR di kereta, tulisannya jadi acak-acakan. Gurunya mau mengerti. Nggak marah."Sampai di Stasiun Gondangdia, Riska dan ibunya segera naik ojek ke sekolahnya di Jalan Kramat IV. Biasanya tiba di sekolah pukul enam pagi. "Masih sepilah sekolah," kata Riska. "Ika sarapan dulu, makan mi goreng." Terkadang sambil sarapan ia mengerjakan pekerjaan rumah yang tak sempat disentuh, karena setiap hari sampai di rumah sudah larut malam.Begitu bel pulang sekolah berbunyi pada pukul 12.30, Riska segera melesat ke tempat kerjanya, Simpang Tugu Tani. Untuk makan siang pun ia tak sempat. Setelah menitipkan tasnya kepada seorang satpam di bangunan kosong bekas gedung BMG, dia segera menemui Bang Daus untuk mengambil jatah koran sore. Biasanya ia mendapat jatah koran 15 eksemplar dengan harga Rp 800 per eksemplar. Berbekal topi sekolah penahan terik matahari, Riska yang masih berseragam bergabung dengan kakaknya dan pedagang asongan lain. Ia mulai menyerbu antrean kendaraan yang berhenti di lampu merah. "Koran, koran..." teriaknya. Usaha Riska tak selalu mulus. Pertengahan Maret lalu kepala sekolahnya mengancam memecat Riska jika tetap berjualan koran dengan mengenakan seragam sekolah. Hal itu terjadi gara-gara sebuah koran memuat foto Riska saat berjualan koran. "Saya dikatain anak jalanan. Anak bego. Dibilangin gak ngerti-ngerti, katanya. Terus Bu Kepala Sekolah gebrak (meja). Dia bilang, kalau masih jualan koran pakai seragam sekali lagi entar dikeluarin," tuturnya.Guru dan teman sekolahnya mengejek Riska dengan julukan "Artis Lampu Merah". Gadis kecil ini tertekan. Ia sedih dan bingung. Tiga hari dia tak masuk sekolah. "Saya jadi malu. Saya nggak bisa bilang apa-apa, cuman bisa nangis," katanya. Riska juga menyesal bersedia difoto oleh wartawan koran itu. Kini murid SD ini takut-takut jika diwawancarai wartawan. "Ah, nggak, nggak mau diwawancara lagi. Takut dimarahin kepala sekolah," ujarnya. Dia tidak mengerti mengapa dilarang berjualan koran dengan mengenakan seragam. Baginya, menjual koran bukanlah perbuatan hina. Lagi pula ia tidak sempat pulang ke Bojong Gede untuk ganti pakaian sebelum berjualan koran. "Soalnya rumah Ika jauh. Berat kalo mesti bawa ganti baju tiap hari," ujarnya. Riska tetap berjualan koran, dengan mengenakan kaos oblong. Dia harus menaggalkan seragam sekolahnya. Saat lampu jalan menyala hijau, Riska bercengkerama sejenak dengan teman-temannya di atas hamparan rumput. Ia juga memanfaatkan waktu singkat itu untuk menyantap lontong dan bihun goreng siram sambal kacang. Kadang-kadang ia dan teman-temannya patungan membeli es krim di gerai cepat saji tak jauh dari Tugu Tani. "Satu es krim dimakan bertiga," kata Riska. "Pada rebutan, gitu."Jika ada artis lewat, Riska kegirangan. Ia selalu mengenang pengalaman bertemu Laudia Cyntia Bella dan Tora Sudiro. "Tora pake mobil APV," katanya sambil tersenyum lebar. Namun jika Presiden Yudhoyono lewat, Riska sungguh sedih. Sebelum iringan rombongan Presiden lewat, polisi mengusir Riska dan para pedagang asongan lain. "Enak ya dikawal-kawal," katanya. "Tapi gimana kalo jadi presiden nggak bisa ngatur rakyatnya? Ntar didemo lagi. Demo lagi." Azan magrib berkumandang. Riska bersiap meninggalkan simpang Tugu Tani. Ia sembunyikan uang hasil kerjanya di sepatu untuk menghindari copet. Pukul 21.00 nanti dia baru sampai rumah dan terkapar dihajar lelah. (E2)

Naskah ini dipublikasikan di situs VHRonline

Older Posts