Liza DesylanhiUndang-undang memang mengatur penerapan kesehatan dan keselamatan kerja. Namun, angka kecelakaan kerja tetap tinggi. Banyak kasus ditutup-tutupi.Seusai salat zuhur Muhammad Subari kembali melanjutkan pekerjaannya memasang plafon rumah dua lantai yang mewah di Tebet, Jakarta Selatan. Di atas ketinggian empat meter pria 45 tahun itu asyik memaku dan merangkai papan gipsum menutupi kayu-kayu penyanggah rumah. Tiba-tiba tangga bambu yang menopang tubuhnya merosot cepat dan menghempaskannya ke lantai.

"Saya jatuh telentang. Rasanya kayak apaan. Namanya juga jatuh, boro-boro bangun, gerakin badan saja nggak bisa. Ini sampai sekarang masih mbelendung tulangnya," ujar Subari sambil menunjukkan punggungnya. Kecelakaan itu membuat pria asal Purwokerto, Jawa Tengah, ini harus dilarikan ke rumah sakit. Menurut dokter Rumah Sakit Tebet, Subari harus segera dioperasi. "Di rumah sakit, saya nggak sanggup bayar biayanya. Waktu itu minta Rp 45 juta untuk operasi, diberi pen. Terus terang saya orang nggak mampu, ya saya terpaksa pulang," tuturnya.

Pemilik rumah pun tak mau bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa Subari. Pekerja itu hanya diberi uang Rp 100 ribu, pembayaran tiga hari kerja. "Begitu kita jatuh, ya dilepas aja. Boro-boro (diberi ongkos) untuk pengobatan," ujarnya geram.Akhirnya pria tamatan sekolah dasar ini memilih perawatan dukun patah tulang, karena ongkosnya murah.

Dua minggu Subari tergolek di sana. Karena kecelakaan itu setahun lebih dia tak dapat menafkahi istri dan kelima anaknya. "Kita nggak bisa kerja. Jadi, terpaksa apa yang ada kita jual," kata pria berkulit gelap ini.Peristiwa nahas itu terjadi sepuluh tahun lalu, tepatnya Januari 1997. "Waktu itu bulan Puasa, menjelang reformasi," ujar lelaki berperawakan kecil ini.

Bekerja di konstruksi sejak tahun 1981, baru kali itu Muhammad Subari mengalami kecelakaan kerja. Padahal, sebelumnya ia bekerja untuk proyek pembangunan gedung bertingkat yang lebih tinggi. Namun bekerja di proyek pembangunan rumah warga tak dilengkapi alat pengaman standar. Peralatan kemanan sangat mahal bagi pekerja kecil seperti dia. Pemilik rumah pun enggan menyediakan alat seperti itu.

Biasanya Subari membuat alat pengaman sendiri dari bambu dan tambang. Namun alat buatan sendiri itu membuat dia tak leluasa bergerak. "Kalau di konstruksi yang tinggi, kita lebih hati-hati," katanya. "Sehari penuh kita selalu inget kemungkinan akan jatuh. Jadi, selalu kita bikin yang lebih erat. Kita ingat kalau kita teledor, nggak hati-hati, bisa jatuh."Kini Subari telah naik pangkat menjadi mandor proyek pembangunan rumah.

Tapi ia belum punya rumah sendiri, walau sudah bekerja di ibu kota selama seperempat abad dan membangun begitu banyak rumah. Sampai sekarang ia masih tinggal di rumah kontrakan di sebuah gang sempit di Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Untuk sewa rumah per bulan ia harus merogoh kocek Rp 500 ribu. "Namanya berjuang untuk hidup. Namanya nasib, mau diubah susah. Padahal, kita sudah mau berubah. Istri saya sampai dagang apa saja.

Namun, anak banyak, sehingga pendapatannya nggak jadi apa-apa," katanya.Kecelakaan kerja selalu mengintai buruh konstruksi yang sering bekerja di ketinggian dan tanpa sarana pengamanan memadai. Sulaiman, 37 tahun, misalnya. Buruh konstruksi ini biasa bekerja di ketinggian. Suatu kali ia bekerja di ketinggian 35 meter. Tiba-tiba ia tersambar tiang parabola yang terbuat dari logam.

"Tatakannya menghantam kepala," kata ayah dua anak ini. "Sehingga mengiris kening dan bibir." Sulaiman sempat turun ke bawah walau darah mengucur dari kepalanya. Sampai di bawah ia tak sadarkan diri. "Cuma sempat bilang, Pak antar saya ke rumah sakit, " kata pria berkepala plontos ini.

Sulaiman tidak terima. Menurut dia, kepalanya tidak akan terluka jika perusahaan tempat kerja menyediakan helm proyek. "Memang prosedurnya harus pakai pengaman kepala," katanya. "Tapi pada saat itu nggak ada helm. Padahal, kita dikejar target, dua minggu harus selesai." Karena tak mau kehilangan pekerjaan, Sulaiman menerima saja risiko kerja tanpa helm.

Buruh konstruksi selalu dihantui kecelakaan kerja. Ketakutan itu selalu membayangi benak Sumarno, 42 tahun. Saat ini ia bekerja untuk kontraktor yang sedang membangun apartemen 30 lantai di Cawang, Jakarta Timur. Tugasnya menganyam dan mengelas konstruksi besi untuk dinding, kolom, dan tiang apartemen. "Kerja saya mengikuti lantainya, terus ke atas, tergantung ketinggian yang sudah dibangun," kata pria berambut ikal sebahu ini.

Tak jarang nyali pria asal Pekalongan, Jawa Tengah, ini menciut kala harus bergelantungan di ketinggian. Diterpa angin yang berembus kencang di ketinggian sebenarnya dia kerap terombang-ambing dalam kengerian. Dia merasa ngeri melihat semua yang di bawah tampak kecil. "Ngerinya kalau lagi ada angin, hujan," katanya. Sumarno merasakan maut selalu mengintai saat dia bekerja di ketinggian.

"Bahayanya terutama kalau kita lagi nyetel barang di pinggiran. "Nah! Bahaya itu, kalau lepas! Atau badan terlalu letih tapi dipaksakan. Kita ngukur kekuatan sendiri, kalau nggak kuat ya istirahat dulu," kata ayah dua anak ini. Namun dia merasa beruntung, proyek konstruksi tempatnya bekerja kali ini menyediakan alat pengamanan yang cukup memadai. Selain itu, safety patrol di proyek sering mengecek penggunaan alat pengaman seperti helm, sabuk pengaman, dan sepatu. Karena itu Sumarno bisa sedikit tenang dalam bekerja, meski upahnya kecil, Rp 30 ribu untuk kerja dari pukul 08.00 hingga pukul 16.00.Untuk tempat tinggal, Sumarno tak perlu risau, karena tersedia bedeng bersama ratusan buruh lain.

Di bedeng itu ia dan para buruh lain tidur berjejer, berdesakan di ruang yang sumpek. Ratusan buruh harus antre di depan enam kamar mandi. Kecelakaan kerja selalu mengancam buruh konstruksi. Mardianto, 23 tahun, yang pernah bekerja pada proyek pembangunan mal dan apartemen Taman Angrek, Grogol, Jakarta Barat, mengalami horor itu.

"Selama proyek yang nggak sampai 500 hari itu, korbannya 400-an orang!" kata buruh konstruksi selama hampir empat tahun ini. "Ada yang meninggal karena terjatuh dari lantai atas, kejatuhan semen, kejatuhan balok kayu atau lift pengangkut pekerja yang jatuh akibat kelebihan muatan."Mardianto menuturkan, biasanya dalam proyek konstruksi perusahaan menerapkan ketentuan kesehatan dan keamanan kerja secara ketat. Selain ada safety patrol, setiap minggu ada arahan dari atasan.

"Kalau di Taman Anggrek itu nggak. Nggak ada pengaturan." Sumarno bercerita, jika terjadi kecelakaan kerja yang membuat buruh tewas, pintu proyek ditutup hingga setengah hari. "Polisi nutup pintu," katanya. "Jadi, pekerja nggak bisa masuk, nggak bisa keluar sebelum yang meninggal itu dibawa ke rumah sakit. Jadi, kelihatan nggak ada kecelakaan."

Menurut Direktur Pengawasan Norma Kesehatan dan Keamanan Kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nasrul Sjarief, setiap terjadi kecelakaan kerja pengusaha harus melaporkan kepada petugas pengawas Kesehatan dan Keamanan Kerja di Dinas Nakertrans setempat.

"Harus dilakukan paling lama 2 x 24 jam untuk kemudian dilakukan investigasi penyebab kecelakaan kerja." Nasrul menegaskan, bedasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970, perusahaan yang memperkerjakan 100 karyawan atau kurang tetapi memiliki risiko kerja tinggi wajib menerapkan Sistem Kesehatan dan Kamanan Kerja. UU itu mewajibkan manajemen memberi tahu setiap pekerja mengenai risiko kerja dan cara menanggulanginya.

Khusus di bidang konstruksi, pada setiap penandatanganan kontrak proyek harus ada klausul pelaksanaan Kesehatan dan Keamanan Kerja di lokasi konstruksi. Pengusaha yang melanggar ketentuan itu diancam pidana, ganti rugi perdata, dan hukuman administratif.Walaupun ketentuan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Indonesia telah diatur sejak 1971, angka kecelakaan kerja masih tinggi.

Menurut Depnakertrans, angka kecelakaan tahun 2001 tercatat 104.774 kasus, tahun 2002 sebanyak 103.804 kasus, tahun 2003 sebanyak 73.314 kasus, tahun 2004 sebanyak 95.400 kasus, dan tahun 2005 sebanyak 99.023 kasus. Celakanya, angka kecelakan tertinggi menimpa buruh konstruksi. (E2)

Naskah ini dimuat di situs VHRonline

0 comments:

Newer Post Older Post Home