Sekolah alternatif itu telah membuat para perempuan sadar gender. Namun, ada yang menuduh mereka melakukan kristenisasi.


Genangan air di Gang Pelangi, Rawajati, Kalibata, Jakarta Selatan, membuat ibu-ibu itu sewot. Sebab, lorong itu ruang kelas mereka. Ibu-ibu penghuni bantaran Kali Ciliwung itu tak bisa sekolah. Padahal, sudah satu minggu mereka absen gara-gara genangan air.

"Kalau sekali nggak belajar berasa rugi," kata Musriyah, 37 tahun. Akhirnya, rasa kecewa itu terobati setelah sekolah dipindahkan ke teras rumah salah seorang murid, Nuraini.

Sekolah itu namanya Sekolah Perempuan Ciliwung. Di sana tak ada meja ataupun kursi. Juga tak ada ruang yang disekat-sekat. Yang ada hanya lorong selebar setengah meter beratap terpal dan beralas tikar. Para guru menulis pada papan tulis yang ditempel atau kertas plano. Kelas itu dimulai dari pukul satu hingga tiga siang, setiap Senin hingga Rabu. Jika sekolah dimulai, orang-orang yang biasa lalu lalang di lorong itu harus rela pindah jalur.

"Sebetulnya memang mengganggu ya," kata Retno Partinah, 33 tahun, murid sekaligus sekretaris sekolah itu. "Mereka butuh lewat, kita butuh tempat belajar. Gimana? Kadang-kadang ada pedagang lewat. Kasihan kalau pedagang mikul-mikul berat. Kita bangun dulu, kita bawain sandalnya."

Jika musim hujan tiba, cemas melanda mereka. Kegiatan belajar pasti terganggu. "Ini kan kelas misbar, kalau gerimis bubar," kata Musriyah yang sudah empat tahun lebih belajar di sekolah ini.

Sekolah itu berdiri sejak Oktober 2003. Penggagasnya lingkar pendidikan alternatif perempuan, Kapal Perempuan. Kini sekolah itu memiliki 60 murid perempuan berusia 22 hingga 65 tahun.

Menurut Kusniyah, si kepala sekolah yang juga murid sekolah ini, semua materi pelajaran ditentukan bersama para murid. Kini sekolahnya memiliki pelajaran membaca, menulis, kesetaraan gender, kesehatan reproduksi, keorganisasian, dan kopersi simpan pinjam.

Kata Bu Kepala Sekolah ini, mengajarkan kesetaraan gender bagi warga di tempatnya bukan perkara enteng. Materi pelajaran tidaklah susah, namun penolakan dari warga adalah masalah berat. Sebab, gara-gara mengajarkan kesetaraan gender, sekolah itu dituduh melakukan kristenisasi dan mengajari perempuan agar melawan suami. Akibatnya, lebih dari separo jumlah murid Sekolah Perempuan Ciliwung mengundurkan diri atas desakan para suami.

"Padahal, maksud gender itu supaya laki dan perempuan setara, bukannya supaya berani sama suami," kata perempuan usia berusia 44 tahun kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, ini. "Sebenarnya laki-laki dan perempuan itu sama. Bedanya kan di penis dan vagina, doang. Semuanya hampir sama. Hak dan kewajibannya juga sama," tambah ibu empat anak ini.
Akhirnya pelan-pelan masyarakat dapat menerima keberadaan sekolah itu. "Alhamdulillah! Sekarang mereka diam sendiri. Orang seperti Pak Lurah segala jadi tahu bahwa maksud pendirian sekolah ini benar-benar mau membantu masyarakat," ujarnya.

Setelah sadar gender, banyak murid yang lebih dihargai suami. Misalnya saja Yati, 40 tahun. Dulu perempuan bertubuh tinggi dan berkulit gelap ini kerap merasakan bogem mentah suaminya. Meski kekerasan itu membuat sakit hati, toh Yati diam saja. Bahkan, ketika suaminya tega menikah lagi dengan perempuan lain tanpa minta izin, Yati tetap diam saja. Padahal, selama pernikahan, Yati yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, karena pendapatan suaminya tak menentu.

"Tiba-tiba dia punya anak. Saya sakit hati. Dulu, sebelum dia jadi satpam, nggak mikir keuangan keluarga," ujarnya geram.

Yati tidak berani menceraikan suaminya, alasannya masih sayang dan takut menjanda. Namun, setelah mendapat pelajaran kesetaran gender, dia berani mengambil sikap. "Memang saya cuma buat dimarahin? Kita juga bisa marah sama orang laki!" katanya.

"Laki saya bilang, banyak perempuan dimadu, kamu saja yang nggak mau," Yanti menirukan suaminya yang menolak permintaan cerai.

Murid lain, Nuraini, 37 tahun, pun demikian. Perempuan asal Medan ini memang tak mengalami kekerasan dalam rumah tangga, namun ia hidup dalam keluarga yang patriakis. Selain bekerja sebagai buruh cuci piring, dia masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tak heran jika pekerjaan domestik selalu dibebankan padanya. Namun setelah Nuraini sadar gender dan mencoba menjelaskan, suaminya mulai menghargai. "Sekarang dia mau cuci piring, bantu-bantu di rumah," katanya.

Hal serupa dialami Retno Partinah. Dulu ia tak pernah membantah permintaan suaminya, meskipun sedang repot dengan pekerjaan rumah tangga. Tapi kini tidak. Ia sudah dapat bernegosiasi dengan suaminya. "Misalnya dia minta diambilin makan, ya saya suruh ambil sendiri. Kan bisa ambil sendiri," katanya.

Apalagi suami Retno yang bekerja sebagai montir tak jauh dari sekolah itu sering mendengar pelajaran tentang kesetaraan gender. Suaminya pelan-pelan jadi sadar. "Waktu itu kan acara workshop tiga hari. Saya pergi pagi pulang malam. Nggak sempet masak. Eh, suami saya masak sendiri untuk anak-anak. Saya terharu," kata Retno. (E2)

0 comments:

Newer Post Older Post Home