Menjual koran untuk menggapai cita-cita. Kepala sekolah melarang. Diusir polisi.Sore itu Riska Amalia duduk di trotoar di sekitar lampu merah Tugu Tani, Jalan Prapatan, Jakarta Pusat. Setelah berjam-jam menjajakan koran, gadis usia 9 tahun ini letih. Sesekali ekor matanya melirik lampu lalu lintas. Dia berharap lampu hijau segera padam dan berganti lampu merah. Saat lampu merah menyala dia segera lari menuju perempatan dan menjajakan koran kepada pengendara yang berhenti."Capeklah. Setiap hari pulang malam. Dengkul pegel. Pengin bisa jalan-jalan kayak anak-anak lain. Cuman, mau gimana lagi?" ujarnya. Kamis 29 Maret itu Riska kurang beruntung. Matahari sudah condong ke barat, namun koran dagangannya masih menumpuk. Petang itu ia baru mengantongi Rp 10 ribu. "Biasanya hari gini sudah habis," katanya. "Ini sih gara-gara mobil-mobil dijalanin melulu sama polisi. Lampu merahnya nggak ngaruh." Akhir-akhir ini penjualan koran Riska merosot. Kian lama bermunculan pesaing baru. Semakin banyak anak sebaya dia berjualan koran. Pada awal bekerja, dua tahun lalu, Riska bisa menjual koran 50 hingga 60 eksemplar setiap hari. "Langganan saya dicegatin ama anak-anak Kebon Sirih," ujarnya. Kini, pelajar kelas V SD Negeri Kenari 05, Jakarta Pusat, itu hanya bisa membawa pulang Rp 30 ribu sehari. Dulu lumayan mudah mendapatkan uang Rp 50 ribu sampai Rp 70 ribu.Riska menjajakan koran untuk membiayai pendidikannya. Sadar biaya pendidikan mahal, dia bekerja keras sejak dini. "Ika pengin jadi dokter bedah jantung. Entar, kalau ada yang kesusahan, nggak mampu, berobatnya gratis saja," katanya. "Dulu bapak saya sakit parah tapi nggak mampu berobat. Akhirnya meninggal." Gadis berkulit gelap ini tiba-tiba menerawang jauh. Ayahnya, Husain, meninggal dunia pertengahan Januari lalu karena serangan jantung, setelah mengalami stroke beberapa lama. Jadilah ibunya, Rustidjah, yang menghidupi Riska dan tiga kakak lelakinya. Sang ibu hanyalah tukang sapu jalan. Upahnya yang hanya Rp 600 ribu per bulan tentu tidak cukup untuk membiayai hidup bersama empat anak yang belum bekerja. Hanya Riska dan Rifki, salah satu kakaknya, yang membantu ekonomi keluarga. "Untuk makan sehari-hari dari hasil Riska dagang," kata Rustidjah. Dulu ayah Riska bekerja sebagai sopir taksi. Karena serangan stroke, kepala keluarga itu tak lagi bekerja. Tumpuan ekonomi keluarga pun pindah ke Rustidjah.Pada tahun 2000 rumah orang tua Riska di daerah Kwitang terbakar. Seluruh harta keluarga itu menjadi abu. Karena tak mampu membangun rumah, keluarga itu pindah ke Kampung Kelapa, Rawa Panjang, Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat. "Sebulan ngontrak 250 ribu rupiah," ujarnya."Migrasi" itu menjadikan Riska menempuh perjalanan jauh untuk ke sekolahnya. Ia harus tetap bersekolah di SD negeri di Jakarta karena di Bojong Gede tidak ada sekolah gratis. Lagi pula di sana tidak ada tempat untuk berjualan koran. Ibunya pun tetap harus bekerja di daerah Kwitang.Setiap hari Riska bangun pada pukul empat pagi. Bersama sang ibu, dia berjalan kaki sepanjang satu kilometer menuju Stasiun Citayam, mengejar kereta listrik pertama agar bisa dapat tempat duduk dan membuka buku pelajaran. "Nggak enak belajar di kereta. Berisik," kata bocah yang selalu meraih peringkat tiga besar di kelas ini. "Ngerjain PR di kereta, tulisannya jadi acak-acakan. Gurunya mau mengerti. Nggak marah."Sampai di Stasiun Gondangdia, Riska dan ibunya segera naik ojek ke sekolahnya di Jalan Kramat IV. Biasanya tiba di sekolah pukul enam pagi. "Masih sepilah sekolah," kata Riska. "Ika sarapan dulu, makan mi goreng." Terkadang sambil sarapan ia mengerjakan pekerjaan rumah yang tak sempat disentuh, karena setiap hari sampai di rumah sudah larut malam.Begitu bel pulang sekolah berbunyi pada pukul 12.30, Riska segera melesat ke tempat kerjanya, Simpang Tugu Tani. Untuk makan siang pun ia tak sempat. Setelah menitipkan tasnya kepada seorang satpam di bangunan kosong bekas gedung BMG, dia segera menemui Bang Daus untuk mengambil jatah koran sore. Biasanya ia mendapat jatah koran 15 eksemplar dengan harga Rp 800 per eksemplar. Berbekal topi sekolah penahan terik matahari, Riska yang masih berseragam bergabung dengan kakaknya dan pedagang asongan lain. Ia mulai menyerbu antrean kendaraan yang berhenti di lampu merah. "Koran, koran..." teriaknya. Usaha Riska tak selalu mulus. Pertengahan Maret lalu kepala sekolahnya mengancam memecat Riska jika tetap berjualan koran dengan mengenakan seragam sekolah. Hal itu terjadi gara-gara sebuah koran memuat foto Riska saat berjualan koran. "Saya dikatain anak jalanan. Anak bego. Dibilangin gak ngerti-ngerti, katanya. Terus Bu Kepala Sekolah gebrak (meja). Dia bilang, kalau masih jualan koran pakai seragam sekali lagi entar dikeluarin," tuturnya.Guru dan teman sekolahnya mengejek Riska dengan julukan "Artis Lampu Merah". Gadis kecil ini tertekan. Ia sedih dan bingung. Tiga hari dia tak masuk sekolah. "Saya jadi malu. Saya nggak bisa bilang apa-apa, cuman bisa nangis," katanya. Riska juga menyesal bersedia difoto oleh wartawan koran itu. Kini murid SD ini takut-takut jika diwawancarai wartawan. "Ah, nggak, nggak mau diwawancara lagi. Takut dimarahin kepala sekolah," ujarnya. Dia tidak mengerti mengapa dilarang berjualan koran dengan mengenakan seragam. Baginya, menjual koran bukanlah perbuatan hina. Lagi pula ia tidak sempat pulang ke Bojong Gede untuk ganti pakaian sebelum berjualan koran. "Soalnya rumah Ika jauh. Berat kalo mesti bawa ganti baju tiap hari," ujarnya. Riska tetap berjualan koran, dengan mengenakan kaos oblong. Dia harus menaggalkan seragam sekolahnya. Saat lampu jalan menyala hijau, Riska bercengkerama sejenak dengan teman-temannya di atas hamparan rumput. Ia juga memanfaatkan waktu singkat itu untuk menyantap lontong dan bihun goreng siram sambal kacang. Kadang-kadang ia dan teman-temannya patungan membeli es krim di gerai cepat saji tak jauh dari Tugu Tani. "Satu es krim dimakan bertiga," kata Riska. "Pada rebutan, gitu."Jika ada artis lewat, Riska kegirangan. Ia selalu mengenang pengalaman bertemu Laudia Cyntia Bella dan Tora Sudiro. "Tora pake mobil APV," katanya sambil tersenyum lebar. Namun jika Presiden Yudhoyono lewat, Riska sungguh sedih. Sebelum iringan rombongan Presiden lewat, polisi mengusir Riska dan para pedagang asongan lain. "Enak ya dikawal-kawal," katanya. "Tapi gimana kalo jadi presiden nggak bisa ngatur rakyatnya? Ntar didemo lagi. Demo lagi." Azan magrib berkumandang. Riska bersiap meninggalkan simpang Tugu Tani. Ia sembunyikan uang hasil kerjanya di sepatu untuk menghindari copet. Pukul 21.00 nanti dia baru sampai rumah dan terkapar dihajar lelah. (E2)

Naskah ini dipublikasikan di situs VHRonline

0 comments:

Newer Post Older Post Home