Pemerintah Jakarta mencoba waterway di Ciliwung. Tapi perahu tak bisa melaju gara-gara sampah.



Bibir mungil Rafi tak berhenti berceloteh. Tangannya menunjuk air kali yang membuih karena dipecah laju perahu yang ditumpanginya. Saking semangatnya, Rafi menjulurkan kepalanya keluar jendela, membiarkan angin menerpa rambut ikal dan wajah putihnya. Decak kagum terdengar dari bibirnya, "Wow...wow... hebat!"

"Mana ada hiu di sini? Adanya sampah!" kata Rafi sambil menunjuk deretan kayu dan plastik yang mengapung di sekitar perahu. Bocah 4 tahun itu naik perahu Kerapu VI bersama sepupu, kakak lelaki, dan ayahnya. Mereka pun ramai mengometari pangalaman baru mereka lebih dari setengah jam menyusuri Kali Ciliwung dengan menggunakan perahu cepat.

Kekaguman juga merayapi benak Alisya Manita. Bocah kelas V sekolah dasar ini senang bisa juga merasakan naik perahu, walau di sungai yang airnya cokelat, setelah dua jam mengantre. Meski udara dalam perahu amat panas, ia menikmati perahu dari Dermaga Halimun ke Karet, bolak-balik. "Deg-degan juga! Takut kapalnya tenggelem!" ujarnya.
Budiaman juga cemas. Ayah dua anak ini waswas saat naik perahu bersama kedua anaknya. Meski ia berlayar hanya sejauh 1,7 km, banyaknya sampah di Kali Ciliwung menghambat laju perahu. "Mesinnya suka mati, sampah nyangkut di baling-baling," katanya.

"Jadi agak takut juga. Takut kebawa hanyut," kata Budiman. Selama perjalanan dari Dermaga Halimun-Karet-Halimun, mesin kapal yang ditumpangi pria berusia 37 tahun ini mati dua kali. "Tapi bisa ditangani oleh petugasnya."

Jika mesin mati tersangkut sampah, petugas harus bekerja ekstra membersihkan baling-baling dari sampah. Akibatnya, para penumpang yang menunggu di Dermaga Halimun harus juga ekstra sabar menanti giliran.

Para penumpang tertib mengantre di dermaga, walaupun makin siang antrean semakin mengular. Mereka berdiri kepanasan. Apalagi dermaga baru itu belum dilengkapi fasilitas memadahi. Tidak ada loket, toilet, tempat sampah, atau lahan parkir.

Antrean panjang sejak pukul tujuh pagi sudah memadati meja cokelat penjualan tiket. Petugas Dinas Perhubungan Jakarta kewalahan melayani para calon penumpang.

Penduduk Jakarta antusias menyambut angkutan sungai ini. Pada minggu pertama operasi waterway, warga berbondong-bondong mencoba. Bukan hanya warga yang tinggal di sekitar Kali Ciliwung yang ingin mencicipi pengalaman naik speedboat warna putih itu. Bahkan, ada warga dari Kebon Jeruk, Bekasi, dan Tangerang.

Di sungai dangkal dan penuh sampah, speedboat itu tak bisa melaju. Untuk menempuh perjalanan sejauh 1,7 kilometer, perahu itu butuh 40 menit, kadang-kadang lebih.

Perahu itu digerakkan mesin ganda merek Yamaha. Jika berlayar di laut lepas, Kerapu bisa melaju 25-26 knot. Sementara selama mengarungi Sungai Ciliwung, kecepatannya tak lebih dari 10 knot. Karena airnya kotor, mesin perahu itu kadang meraung keras dan membubungkan asap putih. Asap itu pun masuk ke dalam perahu membuat pedih mata penumpang yang duduk di belakang.

Sebenarnya Dinas Pekerjaan Umum Jakarta telah memasang jaring di pintu air Manggarai untuk menyaring sampah. Tapi tetap saja banyak sampah yang melenggang bebas. Di sepanjang sisi sungai terlihat beberapa petugas kebersihan membersihkan sungai dari sampah, demi kenyamanan pelayaran.

Budiaman, seorang penumpang, mengungkapkan keprihatinannya. "Orang-orang itu sembarangan semua, nggak ga mau tahu. Main buang-buang sampah sembarangan ke kali begini. Petugas kebersihan kayaknya kewalahan juga," katanya.

Maklum saja, rute Halimun-Dukuh Atas-Karet pulang-pergi, hanya dilayani dua buah perahu berukuran sedang, Kerapu III dan Kerapu VI, yang baru berumur setahun. Sebuah perahu dapat mengangkut 28 orang. Dua perahu itu dipinjam dari Pemerintah Administratif Kepulauan Seribu.

Kedua perahu itu masih bagus. Ruang dalamnya bersih. Ada dua lajur bangku yang dapat diduduki dua-tiga orang dewasa. Di setiap kolong bangku biru itu terdapat lebih dari 30 jaket pelampung berwarna orange yang masih baru, rapi terbungkus plastik. Menurut juru mudi Kerapu VI, Anas, berlayar di sungai sebenarnya relatif aman. "Paling dalam airnya cuma 2 meter,"ujar lelaki asal Kepulauan Seribu ini.

Menurut Muhammad Zaki, Kepala Unit Pelabuhan dan Penyeberangan Dinas Perhubungan Jakarta, sejak Sabtu hingga Minggu. Sehari operasi dua kali, masing-masing selama 2 jam. Jam pertama mulai jam 7 hingga 9 pagi. Jam kedua mulai jam 4 hingga 6 sore. Pada operasi tanggal 9 sampai 10 Juni, hampir 400 tiket telah terjual. Dia memperkirakan sampai Minggu sore hari itu penumpang akan membeludak. Padahal, Dinas Perhubungan hanya mencetak 500 tiket.

Hari itu banyak calon penumpang gigit jari, tak terangkut kendaraan air itu. Hantoro, warga Menteng Wadas, yang datang bersama putrinya terpaksa pulang dengan kecewa. "Saya sangat kecewa, dari jam tujuh antre," katanya.

Waterway adalah kendaraan pariwisata, hanya beroperasi pada Sabtu dan Minggu. Tingginya animo masyarakat yang ingin mencoba tranportasi baru ini di luar perkiraan Dinas Perhubungan. "Di luar dugaan, yang berminat cukup banyak," kata Zaki. "Awalnya banyak yang mencemooh."

Biaya operasi waterway cukup mahal. Sekali jalan, sebuah perahu melahap 15 liter bensin. Untuk seluruh biaya operasi dalam setahun, pemerintah hanya menyediakan dana Rp 200 juta. Dengan tiket Rp 3.000 untuk satu rute bolak-balik, dalam sebulan bisa mendapat penghasilan Rp 40 juta.

Pemerintah Jakarta akan mengembangkan moda angkutan waterway. Jika Banjir Kanal Timur sudah selesai dibangun, angkutan sungai dapat menjadi alternatif transportasi bagi warga Ibu Kota. Angkutan air rencananya akan menjadi bagian dari tranportasi makro yang terintegrasi dengan moda transportasi yang sudah ada, seperti busway.

Moda angkutan sungai di Jakarta sebenarnya bukan hal baru. Dulu, ketika Jakarta masih bernama Batavia, perahu-perahu berseliweran di Sungai Ciliwung. Namun, seiring dengan pendangkalan sungai akibat sampah perahu-perahu itu tidak bisa beroperasi. Kini moda transportasi air akan dipulihkan lagi. Semoga saja berhasil, seperti Venesia di Italia. (E2)Foto-Foto: Liza Desylanhi.

Naskah ini dipublikasikan disitus VHRonline

0 comments:

Newer Post Older Post Home