Kisah Melawan Lupa

Tanpa jemu mengunjungi dan mengingatkan pengidap TBC untuk berobat. Walau sering dimaki pasien, dia tak kapok.

Senyum mengembang di wajah tirus itu menyambut kedatangan Slamet Rahayu. Dengan ramah perempuan berambut lurus sebahu ini mempersilakan Slamet duduk di karpet tipis yang terhampar di ruangan kamar kontrakannya yang kecil dan pengap. Meski senyum menghias wajah Warsinah, sorot matanya menyiratkan kekhawatiran.

"Bapak nih nakut-nakutin!" Ibu dah tahu Bapak mau ke sini, deh. Ibu dah berasa, pasti disuruh ronsen lagi. Tapi ibu nggak punya uang," ujar perempuan berusia 54 tahun ini sambil tertawa kecil.

Seharusnya dua pekan lalu Warsinah membawa putra bungsunya, Muhammad Yusuf yang mengidap tuberculosis (TBC), ke poliklinik paru-paru Perkumpulan Pemberantasan Tuberculosis Indonesia (PPTI) di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, untuk mengambil hasil rontgen ulang.

Apa daya, penghasilannya sebagai pembantu rumah tangga tak cukup untuk membayar biaya rontgen Rp 30 ribu. Terpaksa ia mangkir. Padahal, sebelumnya ia tak pernah sekalipun absen mengambil obat TBC yang diperolehnya gratis selama enam bulan sesuai kontrak .

"Kalau berobat, saya ngambil obat terus. Nggak pernah telat. Cuma itu doang. Habis gimana? Kirain bisa dikasih gratis," ujarnya.

Mendengar protes Warsinah, Slamet Rahayu yang bertugas mengantar obat bagi pasien TBC hanya tersenyum. Kalau sudah begini, pria ramah ini hanya meminta Warsinah untuk tetap datang ke klinik sambil membawa Yusuf. "Nanti kita ketemukan dengan dokternya," kata pria berusia 59 tahun ini.

"Tergantung dokter, apakah akan memberikan gratis atau tidak. Tapi mudah-mudahan bisa, nanti saya bicarakan sama dokter." Pria yang hanya lulus sekolah dasar ini terus membujuk Warsinah agar mau mengambil ulang hasil rontgen Yusuf.

Gambar tersebut sangat penting untuk memastikan apakah bakteri TBC Yusuf benar-benar telah hengkang dari paru-parunya. Bila masih ada, Yusuf harus menjalani pengobatan lanjutan selama tiga bulan. Bagi Slamet, keluhan mahalnya biaya adalah makanannya setiap ia mengunjungi pasien yang mangkir datang ke klinik. Bukan cuma keluhan, terkadang kakek 11 cucu ini harus berlapang dada mendapat omelan pasien yang keberatan atas kunjungannya.

"Kadang kala, kalau saya berkunjung ke rumahnya, pasien lebih galak!" kata Slamet. "Ketika saya tanya, ‘Ibu, kenapa nggak mau kontrol ke sana?' Jawabnya, ‘Emang Bapak yang ngerasain? Saya yang ngerasain, Pak!' katanya gitu!"

Bagi Slamet, omelan pasien merupakan risiko pekerjaannya sebagai petugas pengawas pasien TBC. Yang penting, ia dapat memastikan pengobatan TBC dijalani penderita hingga tuntas, sesuai perjanjian yang ditandatangani pasien ketika akan menjalani pengobatan. Jika pengobatan TBC tidak tuntas, bakterinya akan kebal dan semakin sulit diberantas. Selain itu, bakteri TBC juga bisa menular ke orang lain karena mudah berkembang biak di udara.Slamet Rahayu menjadi pengawas pasien TBC sejak awal 1980. Awalnya, pada 1978 dia bekerja sebagai pesuruh dan penjaga sepeda di klinik paru-paru di Jalan Baladewa, Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.

Upahnya waktu itu Rp 100 rupiah per bulan. Kini gajinya Rp 900 ribu per bulan. Karena keuletan dan kepatuhannya, Slamet dipercaya mengurusi arsip catatan pasien. Setelah mendapatkan pelatihan di Rumah Sakit Angkatan Laut Mintoharjo di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Slamet naik pangkat menjadi petugas pengunjung pasien.

Awal bertugas sebagai pengunjung pasien, pria bertubuh kecil ini mengaku takut. "Takut ketularan!" katanya. "Lama-lama, biasa. Nggak ada rasa takut." Bagi Slamet, yang penting menjaga kebersihan dan hidup sehat. Namun, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Baru dua tahun bekerja di klinik paru-paru, Slamet diserang batuk hebat berkepanjangan.

Menurut dokter, Slamet mengidap TBC. "Kaget juga! Lha saya ini ngurusin orang sakit, kok bisa sakit. Gimana kata orang? Yang ngunjungi pasien saja sakit," katanya sambil terkekeh.Bahkan bakteri TBC di paru-paru Slamet sempat menulari putri sulungnya. Istri dan anak-anaknya pun protes dan memintanya berhenti kerja di klinik. Tapi ia bergeming. Slamet meyakinkan keluarganya bahwa ia tak perlu keluar dari klinik tersebut. "Namanya penyakit! Siapa mau sakit? Anggaplah sebagai cobaan," ujarnya. Syukurlah. Karena berobat secara teratur, Slamet sembuh total. Demikian juga putrinya yang kini telah memberinya dua cucu yang lucu. Menurut pria berambut cepak ini, agar tak terkena TBC harus membiasakan hidup bersih dan sehat.

Untuk mencegah penyakitnya kambuh, setiap pagi Slamet minum pil isoniazid (INH), sampai sekarang. Saat itu kondisi fisiknya memang sedang lemah. Bayangkan saja! Setiap hari ia berkutat di klinik dan mengunjungi pasien. Selain itu, ayah enam anak ini harus mencari tambahan penghasilan. Dari pukul 16.00 sore sampai pukul 9 malam, Slamet berada di tempat praktik dokter di Pluit, Jakarta Utara, sebagai petugas administrasi. Pekerjaan tambahan ini dilakoninya hingga akhir tahun 2005.Jumlah orang Indonesia yang terserang penyakit abad ke-19 ini tak kunjung turun. "Karena kita takut penyakit kambuhannya itu, makin ke sini pasien semakin banyak," kata Slamet.

Dulu ia biasa melayani sekitar 10 hingga 20 pasien yang datang ke klinik. Sekarang jumlah pasien meningkat menjadi sekitar 50 pasien sehari.Setelah berkutat dari pukul 08.00 hingga pukul 13.00 di klinik, tugas lain menanti pria asal Muntilan, Jawa Tengah, ini. Sepulang dari klinik, Slamet mengunjungi pasien yang mangkir, membawa obat atau gambar rontgen dengan sepeda tuanya.

Tak jarang pada hari Sabtu dan Minggu Slamet mengunjungi pasien yang rumahnya jauh dari klinik. "Ada yang di Leuwiliang Bogor, Cimanggis, Bekasi, Balaraja, Banten, dan sebagainya," kat Slamet. "Kita datangi mereka. Kadang kala pasiennya nggak ada, cuma ketemu keluarganya." Slamet selalu mengintatkan keluarga pasien agar rajin mengambil obat ke klinik. "Kalau tidak berobat sampai tuntas, warga sekampung bakal kena penyakit. Nanti bahaya," ujarnya.Walau bekerja di luar waktu kerja, Slamet tidak mendapat upah tambahan. Ia hanya mendapat penggantian uang transportasi saat berkunjung ke rumah pasien.

"Nanti kita bikin laporannya, sebelumnya pakai uang sendiri dulu," katanya. Slamet dapat mengklaim uang trasportasi setiap bulan.Slamet satu-satunya petugas pengunjung pasien di klinik itu. Ia menanggung beban moril jika tak bisa bertemu pasien. "Dokter bilang, kamu harus cari rumahnya, soalnya kalau nggak, kamu utang nyawa! Kalau orang itu sampai nggak diobatin, sampai meninggal, nanti kamu sama juga utang nyawa!" kata Slamet menirukan pesan sang dokter.Dengan uang pas-pasan serta menahan lapar dan haus Slamet harus tetap mengunjungi pasien. "Kalau kita minum, takut nggak bisa pulang. Sekarang pegang duit 10 ribu, mau makan saja bingung," katanya.

Slamet pun kadang menemui pasien yang ingin datang ke klinik tapi tak punya ongkos. "Saya korban juga, korban uang. Saya kasih uang, tapi datang ya! Kalau nggak, ntar duitnya saya minta dua kali lipat!" ujarnya sambil tertawa lebar.Alamat pasien yang tak jelas juga menjadi masalah.

Tak jarang Slamet kehilangan jejak pasien. "Ada juga yang numpang alamat orang lain. Pas pindah, atau pulang kampung, nggak lapor ke klinik. Rasanya kesel juga! Sudah jauh-jauh, kok nggak ada. Padahal, pertama kali berobat, mereka sudah dikasih pengarahan harus berobat sampai tuntas. Malah pasien sendiri yang bilang mau sehat. Tapi, begitu sudah agak mendingan, nggak datang lagi," gerutunya.Namun keluh kesah Slamet berubah menjadi gembira tiada tara ketika pasiennya sembuh total. Rasa lelah dan kesal menguap. "Ibaratnya, saya itu berhasil.

Sekalipun saya nggak bisa ngobatin, tapi omongan saya didengar mereka," katanya. Hubungan dengan pasien yang begitu lama membuat Slamet merasa bagai saudara sendiri. "Kita kan merasa kasihan. Ada orang yang berobat ke sana ke sini, nggak sembuh. Begitu berobat ke Baladewa bisa sembuh. Orang itu kadang-kadang jadi saudara. Istilahnya ya kita ini cari persaudaraan, menolong sesama," tambahnya.Selain pasien galak, banyak juga pasien yang ramah. Ia sering mendapat ucapan terima kasih dari pasien yang pernah dikunjunginya. Slamet sering diundang main ke rumah mereka, meski sudah tak berobat lagi. "Kalau ada musim panen rambutan atau panen singkong, saya disuruh bawa. Katanya terima kasih atas kunjungan dan perhatian saya," ujarnya.Karena dedikasinya terhadap pasien TBC, Slamet mendapat piagam

Satya Lencana Bakti dari Pengurus Pusat PPTI. Penghargaan itu memompa semangatnya. Pada usianya menjelang pensiun, dengan tubuh yang rapuh, Slamet tetap rajin mengunjungi pasien pengidap TBC dengan mengayuh sepeda atau menumpang kendaraan umum. (E2)

Naskah ini dimuat di VHR media pada 30 Mei 2007

0 comments:

Newer Post Older Post Home