Tubuhnya renta. Uzur dan sakit-sakitan. Ia merasa dilupakan.
Tubuhnya yang renta terkulai di tempat tidur. Wajahnya yang pucat memancarkan kepolosan. Sesekali perempuan mungil ini meringis, mengeluhkan perutnya yang sakit. Inilah sosok terkini Soerastri Karma Trimurti, wartawan tiga zaman.Baru seminggu ini SK Trimurti pulang, setelah dirawat tiga minggu di Metropolitan Medical Center, Jakarta. Ia mengalami infeksi paru-paru.
Penyakit itu membuatnya tidak bisa lancar berkomunikasi. Kondisi kejiwaannya juga tidak pasti. Kadang-kadang ceria, namun bisa tiba-tiba murung. Kala sedang ceria, SK Trimurti menyanyikan lagu-lagu Belanda. Jika sedang murung ia malas bicara.
Perempuan kelahiran Surakarta 11 Mei 1912 ini bukan hanya dikenal sebagai jurnalis. Ia juga terlibat perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. SK Trimurti juga pernah menjadi menteri perburuhan dalam kabinet Amir Sjarifuddin pada awal kemerdekaan. Dialah perempuan Indonesia pertama yang menjadi menteri.
Tulisannya yang kritis pernah mengirimkannya ke penjara dari tahun 1939 hingga 1943. Padahal saat itu istri Sayuti Melik, penulis naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia, ini tengah hamil. Perempuan mungil ini tetap tegar melahirkan dan menyusui anak di penjara. Semua itu itu tak membuatnya jera menulis. "Kan memang menulis salah satu alat perjuangan zaman itu," katanya.
Untuk menghindari jeratan delik pers, Soerastri pun memakai nama samaran. Ia memilih nama Karma dan Trimurti. Karena itu orang lebih mengenal nama samarannya dibanding nama aslinya. Ayahnya, Salim Banjaransari Mangunsuromo, pamongpraja Kraton Surakarta, seorang pejuang. Banyak pemuda yang menggunakan rumahnya untuk rapat. Karena sering menguping saat pemuda-pemuda rapat di rumahnya, Soerastri kecil menjadi tertarik dunia politik. Setelah dewasa, Soerastri masuk Partai Indonesia.
Padahal saat itu dia bekerja sebagai guru pegawai negeri Belanda. Karena hatinya lebih condong ke bangsanya, dia mengundurkan diri dari pegawai negeri.SK Trimurti hijrah ke Bandung, kantor pusat Partindo. Di Kota Kembang ia tinggal di rumah Inggit Ganarsih, istri pertama Soekarno. Di kota ini ia bekerja sebagai guru di Perguruan Rakyat. Namun Soekarno mendesaknya agar mau menulis untuk majalah Pikiran Rakyat.
Perempuan bertubuh mungil ini punya sikap keras. Dia protes saat tahu Soekarno melakukan poligami. Walaupun protes itu dilakukan secara halus, rupanya Soekarno tidak terima. Bagi SK Trimurti, poligami tidak adil bagi perempuan. "Saya di-jothak (didiamkan) Bung Karno, karena memprotes poligami." Biaya pengobatan SK Trimurti diperoleh dari bantuan rekan-rekannya.
Heru Baskoro, satu-satunya anak yang masih hidup, tinggal di Amerika Serikat sebagai akuntan. Rumahnya di Jalan Kramat Lontar terpaksa dijual, walau sebenarnya menyimpan banyak kenangan. Apa daya, gaji Heru tidak mencukupi untuk membiayai pengobatan sang ibu yang mencapai ratusan juta rupiah.Kini SK Trimurti tinggal di Taman Galaxy, Kalimalang, Bekasi.
Di tempat ini ia ditemani pembantunya, Sainah, dan Echa, kucing kesayangannya. Heru sebenarnya ingin menemani sang ibu di Indonesia. Namun umurnya yang sudah berkepala lima menghalanginya mendapat pekerjaan di tanah air. Ia terpaksa meninggalkan ibunya di rumah. SK Trimurti pun harus berteman sepi, menghabiskan sisa hidupnya jauh dari anak dan cucu.
Kini SK Trimurti melewati masa tua dalam sepi. Rekan-rekan seperjuangannya sudah meninggal dunia. Dia terpisah dari anak dan cucu. Negara pun sudah melupakannya. Dia kerap melontarkan tanya, "Kok ndak ada yang nengok?" (E2)
Naskah ini dimuat disitus VHRonline pada 13 Maret 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment