Dia menemukan alat pengolah sampah menjadi pupuk organik cair. Selain bertekad memproduksi sejuta unit komposter, dia juga memproduksi pupuk organik kemasan.
VHRmedia.com--Sukamto Hadi Suwito dengan lincah memutar pipa pralon berdiameter 1,5 inci di bawah mesin bor. Dengung mesin bor memecah keheningan. Dalam sekejap belasan lubang kecil berjejer di seputar pipa plastik pralon sepanjang 30 cm itu. Dia lalu meraih tong plastik berwarna biru. Setelah memberi tanda di kiri-kanannya, tangan terampil itu kembali beraksi hingga tercipta dua lubang berdiameter 4 cm. Dalam 30 menit jadilah sebuah komposter berkapasitas 60 liter.
Siang itu Sukamto menunjukkan cara membuat komposter ciptaannya kepada koleganya dari Solo, Jawa Tengah. Pria asal Klaten ini berniat memproduksi sendiri sejuta komposter untuk dibagikan ke kelurahan di Jawa Tengah. "Setiap kelurahan akan mendapat contoh 20 komposter, dan saya dapat royalti saja," katanya kepada VHRmedia.com.
Teknologi sederhana temuan pria berkulit cokelat ini terbukti mampu menghancurkan sampah organik. Bahkan, sejak akhir tahun lalu ia telah memproduksi lebih dari 1.000 komposter untuk memenuhi permintaan dari Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, hingga Maluku.
Komposter terbuat dari tong plastik bekas yang dipasangi dua pralon berlubang kecil-kecil dengan panjang yang berbeda membentuk hutuf T dan sebuah keran di bagian bawah tong. Lubang-lubang pralon itu berguna sebagai sirkulasi udara dan membuang gas metan. Sedangkan keran untuk mengeluarkan lindi, yakni air sisa pembusukan sampah organik oleh bakteri pengurai. "Kalau nggak dikasih pipa, ini panas dan busuk. Baunya nggak karu-karuan. Dan gas metannya keluar," ujar pria yang pernah belajar di Jepang pada 1979-1981 ini
Menurut lulusan sekolah pertanian Jepang ini, lindi merupakan kompos cair yang sangat ampuh menyuburkan tanaman. Bahkan, lindi atau dalam bahasa Jepangnya ekihi ini lebih bagus dibandingkan kompos padat. "Lindi sangat komplet kandungannya. Unsur hewaninya ada, unsur nabatinya, ada karbohidratnya. Ada unsur garam, ada unsur sayuran macam-macam. Pokoknya kompletlah. Itu yang menjadi sangat signifikan bedanya," kata pria 57 tahun ini.
Sukamtolah penemu komposter ini. Menurut dia, alat ini lebih praktis untuk mendaur ulang sampah rumah tangga. Cara ini lebih praktis daripada membuat kompos padat. "Kalau yang padat itu agak ribet. Harus dicampur dengan tanah, pupuk kandang, ada kapur. Jadi, setiap saat, tiga hari sekali, atau seminggu sekali harus diputar-putar, dibolak-balik. Kalau masyarakat perkotaan, agak sulit cari pupuk kandang. Cari tanah aja sulit. Nah, ini yang paling praktis," katanya.
Ide membuat komposter ini bermula dari kegelisahan Sukamto melihat banyaknya sampah di lingkungan permukimannya. Pria ini menempati rumah di dekat lahan kosong seluas 7.000 meter persegi di Cempaka Baru, Jakarta Timur. Sejak puluhan tahun lalu lahan ini jadi tempat pembuangan sampah warga. "Sudah numpuk banyak, dari ujung ke ujung. Baunya, asapnya, jadi polusi. Dampak negatifnya sangat terasa," katanya.
Pada tahun 2005 Sukamto dipercaya warga untuk menjadi ketua RT. Kesempatan itu tak disia-sia untuk mengajak warga berperan aktif mengatasi sampah. Saat pemilihan ia meminta komitmen warga. "Semua warga yang merasa membuang sampah di situ ikut menyelesaikan sampah," ujar kakek dua cucu ini.
Sukamto juga mengajak warga menanam pohon agar lingkungan permukiman menjadi hijau dan sejuk. Tanaman dalam pot-pot besar dibagikan untuk diletakkan di pinggir got yang telah dicor di depan rumah warga. Alhasil,
lingkungan mereka menjadi lebih hijau, sejuk, dan tertata.
Kerja keras Sukamto dan warga RT 14 RW 8 kelurahan Cemapaka Baru itu tidak sia-sia. Atas rekomendasi lurah, mereka mengikuti Lomba Jakarta Clean and Green dan lolos 20 besar tingkat provinsi. Mereka mendapat hadiah Rp 2 juta. Uang itu digunakan untuk penghijauan, keindahan, dan kebersihan, termasuk mengatasi sampah.
Dari dana itu areal pembuangan sampah pun digarap agar tak ada lagi sampah menumpuk. Mulai Mei 2006 Sukamto membuat bak komposter dari semen untuk digunakan secara bersama seluruh warga. "Saya bikin bak semen tiga kotak masing-masing seluas satu meter kubik. Kemudian saya instalasi dengan pipa pralon," katanya.
Sukamto menjelaskan fungsi komposter dan mengajari warga cara memilah sampah organik dan non-organik. "Semua warga saya suruh milah-milahin yang non-organik dan yang organik. Yang non-organik kita kasih ke pemulung, yang tidak ada nilai ekonominya dibakar. Kemudian yang organiknya kita masukin ke kompostrer itu," katanya.
Bukan perkara mudah mengajak warga mau mengolah limbah rumah tangga. "Yang biasa masuk kantong kresek buang, sekarang harus dipisah-pisah. Kendala sih masih banyak," ujarnya.
Namun dia tak menyerah. Setiap pertemuan RT yang berlangsung setiap dua minggu, Sukamto tak jemu mengingatkan warga untuk memilah sampah
dan mengolahnya melalui komposter.
Menurut dia, tidak semua orang suka sistem pengolahan sampah yang ia praktikkan. "Pemerintah belum tentu senang kalau ini sukses. Sebab proyeknya berkurang. Kendaraan operasional sampah akan banyak yang nganggur," ujarnya sambil tertawa lebar.
Tapi ada hasil yang membuatnya bahagia. Masyarakat mulai menyambut antusias sistem pengelolaan sampah yang ia terapkan. "Antusiasme ini dari bawah, lho! Bukan instruksi dari atas. Jadi, masyarakat sadar harus mengatasi sampah sendiri," katanya.
Kesuksesan komposter buatan Sukamto tak selalu berujung baik. Kini alatnya dibajak orang tanpa meminta izin. "Banyak yang niru juga. Sebenarnya nggak etis ya, tapi mau gimana? Wong produk canggih saja ada yang niru," katanya sambil tersenyum getir.
Kini Sukamto ingin menjual kompos cair dengan kemasan yang lebih baik. Siapa tahu bisa dipasarkan di toko-toko. Ia ingin bekerja sama dengan pabrik plastik untuk memproduksi botolnya, dengan mendaur ulang sampah-sampah plastik yang dikumpulkan masyarakat. "Kalau dipajang di supermarket kan bagus, " ujarnya. (E2)
Naskah ini dipublikasikan di Voice of Human Right online
0 comments:
Post a Comment