Setiap pagi Hana Fitriani selalu uring-uringan. Betapa tidak, setiap kali warga Rawamangun, Jakarta Timur, ini bangun tidur dan hendak mandi, ia selalu mendapati bak mandinya kering. Tak ada air setetes pun yang tersisa. Setiap ia membuka keran di kamar mandinya, tak ada air mengucur.
Padahal, setiap pagi Hana harus mengambil air wudu untuk salat subuh, menyiapkan sarapan, mandi, dan berangkat kerja sedini mungkin agar tidak terjebak kemacetan lalu lintas jalanan Ibu Kota.
Setiap kali saluran air dari perusahaan air minum (PAM) di rumahnya tak mengucur, Hana langsung menghubungi nomor pengaduan yang disediakan PT Thames PAM Jaya, perusahaan swasta yang mengambil alih pengelolaan air minum di Jakarta. Namun, selalu saja telepon layanan pelanggan itu tak ada yang mengangkat. Walhasil, Hanna terpaksa berangkat ke kantor tanpa mandi terlebih dahulu.
“Seharian nggak mandi. Sempat nggak salat juga. Kalau terpaksa, tayamum gitu! Tepaksa saya gunakan parfum di sana sini. Seharian bener-bener nggak mandi. Pakai parfum dan kolonye aja saking pingin cepat kerja. Takut kesiangan. Ngejar waktulah,” keluh Hana kepada VHR.
Swastanisasi perusahaan air minum ternyata tidak menjamin layanan yang lebih bagus sebagaimana dijanjikan. Sekalipun para pelanggan seperi Hanna selalu membayar iuran PAM tepat waktu, toh layanan yang diberikan perusahaan itu tidak kunjung membaik. Yang terjadi, aliran air sering dihentikan tanpa pemberitahuan.
“Ya mengecewakanlah. Tiba-tiba (air berhenti) tanpa beri tahu. Orang yang mau kerja cari uang harus bersih. Ya sangat mengecewakan!” tambahnya.
Ternyata bukan hanya pelanggan di kawasan Rawamangun yang selalu mengeluhkan buruknya layanan air PAM. Ari Suseno yang tinggal di Rawasari, Jakarta Timur, terpaksa membeli air yang dijual keliling, walaupun sudah berlangganan PAM. Sudah satu minggu keran di rumah Ari tidak mengeluarkan air, walaupun setiap bulan dia harus merogoh kantong sebesar Rp 120 ribu untuk membayar iuran air. Air di rumah bapak dua anak ini hanya mengalir tiap malam, dan pada pukul lima pagi air mulai macet lagi.
“Saya kecewa dengan PAM Jaya, karena tiap bulan saya membayar tapi hasil yang kita terima itu nggak ada manfaatnya sama sekali. Di tempat saya itu dari kemarin mati PAM-nya, tapi tidak ada pananggulangan apa-apa. Akhirnya saya beli air juga, karena saya ngag punya air lagi. Ini kan kebutuhan. Mandi, makan, mencuci, itu perlu. Saya kira ini kinerja yang bobrok. Apalagi (tarif air PAM) mau dinaikkan. Saya agak kecewa dengan PAM Jaya,” ungkap Ari.
Menurut data PAM Jaya, saat ini sekitar setengah juta pelanggannya mengalami krisis air bersih. Namun, PAM Jaya pun melemparkan kesalahan kepada alam. Kepala Badan Regulator Perusahaan Daerah Air Minum Jaya, Ahmad Lanti, mengatakan perusahaannya terpaksa mengurangi jatah air bagi para pelanggan. Walaupun sejak tahun 1998 PAM Jaya telah menjual sebagian sahamnya pada perusahaan asing, Prancis (PAM Lyonnaisse Jaya/Palyja) dan Inggris (Thames PAM Jaya/TPJ), ternyata belum mampu meningkatkan kapasitas layanan.
Menurut Ahmad Lanti, cadangan air di Waduk Jatiluhur dan Sungai Citarum di Jawa Barat adalah sumber utama air untuk Jakarta. “Selama musim kemarau ini, Jatiluhur sangat terganggu. Ya, tadi pagi saya catat yang seharusnya paling kurang 15 meter kubik per detik atau 15.000 liter per detik, tadi pagi 12,89 meter kubik per detik. Berarti kita kekurangan 2.000 liter per detik. Kebetulan sungai-sungai di Bekasi kering, sehingga kurang pasokan yang mengakibatkan sekitar setengah juta penduduk Jakarta mengalami kekurangan air bersih,” katanya.
Selain kekurangan cadangan air, masalah utama PAM adalah kebocoran pipa air. Kata Ahmad, saat ini separuh dari air yang didistribusikan PAM mengalami kebocoran. Dia juga menyalahkan petani di pantai utara Jawa yang tetap menanam padi, bukannya palawija, sehingga mengurangi suplai air di saluran irigasi.
“Saya rasa kedua operator PAM itu, Palyja dan TPJ, sudah melakukan optimalisasi, tetapi jumlah air yang dipasok selalu kurang sekitar 2.000 dampai 3.000 liter per detik. Jalan keluarnya adalah penegakan hukum mengikuti surat keputusan Gubernur Jabar yang menetapkan bahwa (petani pengguna) irigasi di pantura itu sekarang tidak boleh tanam lagi. Dia harus pindah ke palawija supaya pemakaian air ini berkurang, sehingga kebutuhan air untuk Jakarta dan lain-lain tercukupi. Masalahnya, petani nggak bisa ditertibkan, karena mengambil air berlebihan dari saluran irigasi. Mereka ada yang pakai pompa, pintu air dijebol. Itu yang menyebabkan suplai air untuk Jakarta berkurang,” ujar Ahmad.
Menurut Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, tidak ada jalan lain dalam mengatasi kelangkaan suplai air bersih selain menghemat pemakaian air dan penggunaan sumur dalam sesuai dengan aturan.
“Iklim itu kan tidak menguntungkan seperti itu. Di Jatiluhur juga terus aja menyusut airnya. Ya satu-satunya, ya kita menghemat. Masyarakat menghemat. Terus PAM Jaya juga saya instruksikan untuk waspadai kekeringan. Jadi, dihemat juga air tanah di bawah ini. Jangan disedot habis-habisan. Terutama sumur-sumur dalam itu yang harus perhatikan ekosistem yang ada. Ya nggak ada. Selama ini ya penghematan. Itu satu-satunya,” kata Sutiyoso kepada VHR.
Sementara itu Ketua Forum Warga Kota (Fakta) Azas Tigor Nainggolan mengatakan, krisis air yang terjadi saat ini merupakan dampak privatisasi air tahun 1998. Privatisasi itu mengalihkan tanggung jawab Pemerintah untuk mengelola sumber daya air kepada dua operator asing, TPJ Inggris dan Palyja Perancis.
Dia menyayangkan sikap Pemerintah yang enggan menindak dua operator yang mangkir dari kewajibannya. Tigor pun mengajak para pelanggan PAM Jaya untuk mengajukan tuntutan serta memboikot perusahaan air minum itu dan mengembalikan tanggung jawab pemenuhan air bersih kepada Pemerintah.
“Saya imbau masyarakat melakukan penghijauan, perbaikan lingkungan, supaya air tanah baik. Kita lihat juga upaya untuk memperbaiki lingkungan. Itu kan dilakukan oleh masyarakat. Dalam hal ini Pemerintah justru merusak sumber-sumber air tanah ataupun juga mengubah begitu saja ruang terbuka hijau yang merupakan daerah tampungan air yang bisa jadi sumber air tanah yang akhirnya bisa jadi sumber air bersih bagi warga Jakarta,” tambah Azas Tigor.
Direktur Walhi Jakarta Slamet Daroyni pun sepakat. Ia mengungkapkan, saat ini tinggal 6% ruang terbuka hijau sebagai tabungan air tanah bagi warga Jakarta yang seharusnya minimal 40% dari seluruh ruang yang ada.
“Kejadian ini karena salah urusnya SDA (sumber daya alam, Red), sehingga mengakibatkan bencana krisis air yang terjadi berulang-ulang. Faktor yang paling dominan di DKI Jakarta adalah pertama memang minimnya tangkapan dan resapan air di DKI Jakarta. Keseimbangan ekologinya sangat jauh dari tataran ideal. Jadi, hanya ada 6%, saya dengar terakhir dari beberapa informasi, kawasan ruang terbuka hijau tersebut. Sedangkan sisanya untuk kegiatan komersial,” kata Slamet.
Ketidakmampuan PT PAM Jaya telah membuat para pelanggan seperti Ari Suseno kecewa dan menyiapkan gugatan perwakilan terhadap perusahaan tersebut. “Kecewa banget, makanya saya pengin ngumpulin temen-temen untuk melakukan tindakan hukum supaya mereka (PAM Jaya) jera,” ujar Ari Suseno kesal.
Air yang merupakan hajat hidup orang banyak kini sudah dikuasai swasta dan menjadi barang dagangan. Privatisasi air yang dilakukan sejak sepuluh tahun lalu tidak membuat layanan air menjadi lebih profesional seperti yang dijanjikan, tapi malah makin buruk. (Liza Desylanhi/E2)

0 comments:

Newer Post Older Post Home