Walau tak ada jalur khusus sepeda, komunitas Bike to Work tetap bersemangat mengayuh pedal. Bebas macet, bebas polusi, dan hemat energi.

Hanya orang gila yang mau naik sepeda ke kantor di jalanan Jakarta yang panas dan semerawut. Begitu pendapat Sacha Vandiest saat diajak teman lamanya bersepeda ke kantor. Temannya itu anggota komunitas Bike to Work, kelompok yang gemar mempromosikan "kereta angin" sebagai solusi.

Selain tubuh menjadi bugar, bersepeda tiap hari bisa menerobos kemacetan dan mengurangi polusi. Walau pria besar berkulit cerah ini pernah menggemari sepeda tahun 1997 lalu, ia tak ingin bersepeda di tiap hari. Sebagai seorang chief engineer di perusahaan konsultan bangunan, Sancha dituntut mobilitas tinggi.

Tiap hari ia harus mengunjungi setidaknya 4 proyek. Ia berpikir sepeda ontel bukanlah sarana yang tepat untuk mengejar waktu. Namun, setelah mencoba ke kantor dengan bersepeda pada pertengahan 2006, pria umur 40 tahun ini malah ketagihan. "Ternyata bersepeda menuju tempat kerja itu menyenangkan," kata ayah tiga anak ini. "Pas saya nyobain, bener-benar enak.

Biasanya kan kalau berangkat kerja malas, sekarang malah nunggu-nunggu bangun pagi supaya bisa bersepeda." Seperti pada siang yang terik itu, Sacha asyik bersepeda di sela-sela kendaraan bermotor yang terjebak macet di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Dengan kostum celana kerja, kaos berkerah, dan helm ia bisa menyalip kendaraan bermotor berkat sepeda lipat warna merahnya.

Dengan tag kuning bertuliskan "Bike to Work" yang digantung di bawah sadel, Sacha melenggang menuju kantornya. "Saya malah menikmati jalan di selip-selipan mobil," tambahnya. "Kayaknya seru, bisa jalan kenceng." "Kereta angin" benar-benar bisa menghemat waktu Sacha. Perjalanan sejauh 5 kilometer dari Tebet menuju Kuningan, Jakarta Selatan, bisa ditempuh dalam 7 menit.

"Paling lama 15 menit," katanya. "Itu pun sudah nyantai banget." Padahal, dengan sepeda motor saja Sacha memerlukan 40 menit untuk mencapai tempat yang sama. Kok bisa? Sacha punya kiat tersendiri. Ia menempuh jalan-jalan tikus, menembus kampung dan kompleks perumahan. Karena merasa lebih cepat dan menyenangkan, Sacha kini tak pernah lepas dari sepedanya.

Setiap hari ia menempuh jarak 30 kilometer untuk memantau proyek bangunan di Mega Kuningan, Jakarta Selatan, lalu menuju Kebon Jeruk Jakarta Barat dan pindah ke Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat.Bukan hanya itu. Sacha kini tak lagi mengeluarkan uang bensin Rp 200 ribu per bulan, dan bebas uang parkir. Jika ia sedang mengikuti rapat, Sacha tak sungkan membawa masuk sepedanya ke dalam kantor.

Betapapun menyenangkan, pesepeda di Jakarta bagai anak tiri. Untuk menyeberang jalan saja, orang-orang seperti Sacha selalu kesulitan. "Kalau menyeberang saya sampai memohon please, .please...." Sacha memperagakan tangannya sedang menyembah. "Akhirnya sopir ngasih jalan sambil senyum." Sacha juga pernah ditabrak motor dari belakang di Jalan Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Kecelakaan itu membuat pergelangan tangannya bergeser dari persendiannya dan buku jemarinya luka parah. "Itu pelajaran berharga," katanya. "Karena terburu-buru saya berjalan agak ke kanan. Saya pikir dikasih jalan sama motor."Pengalaman buruk juga dialami Nirwana Noviani, 31 tahun. Anggota Bike to Work yang satu ini pernah terseret bus kota dalam perjalanan dari rumahnya di Pondok Pinang, Jakarta Selatan menuju kantornya di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat.

Kejadian itu berlangsung di depan Pasar Blok A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. "Tersenggol sedikit, tapi di bagian setang," kata perempuan mungil ini. "Saya jatuh ke arah kanan, pas metromini lewat. Saya terseret beberapa meter. Saya luka-luka. Helm retak dan sepeda saya jadi melintir-melintir." Kejadian itu sempat membuatnya trauma, namun minat bersepedanya "kambuh" lagi dua minggu kemudian.

Kini Nirwana tiap hari mengayuh pedal sejauh 24 kilometer, pergi pulang kerja. Nirwana sudah bersepeda ke kantor selama dua tahun. Ejekan teman-teman kantornya tak dihiraukan. "Katanya kurang kerjaan, bau ketek, nggak punya duitlah," ujarnya. "Tapi jalan terus."Kisah pahit bersepeda di Ibu Kota juga dialami Adi Sugondo, 47 tahun.

Manajer keuangan PT Sony Musik Indonesia ini pernah terhantam pintu taksi saat sepedanya melaju di Menteng, Jakarta Pusat. Pagi itu Adi sedang menuju kantornya dengan temannya dari Cireundeu, Ciputat, Jakarta Selatan, menuju kantornya di Menteng, Jakarta Pusat, yang berjarak 24 kilometer.

Sebuah taksi tampak sedang menaikkan penumpang. Setelah penumpang masuk pintu ditutup. Adi pun melaju di samping kiri taksi. Tapi tiba-tiba penumpang itu membuka pintu lagi. "Terbanglah saya dari sepeda karena dijegal pintu. Saya terbang hampir dua meter, lalu terbanting ke aspal," tututrnya. Kecelakaan itu membuat tulang selangkang Adi bengkak sebesar telur ayam. Pria berkaca mata ini bercerita kecelakaan kerap menimpa pesepeda di Jakarta.

"Makin kecil kendaraan, makin marginal ia," katanya. "Makin kecil kendaraan, makin disia-siakan orang lain."Kata Adi, sewaktu dia masih mengendarai mobil ke kantor mobilnya sering dipepet oleh bus. Setelah itu ia naik motor, mobil pun gemar memepet motor. Kini, ia naik sepeda dan dipepet oleh semua jenis kendaraan.

"Makanya setiap ada anggota baru kita bilang, welcome to the traffict jungle," kata Adi diikuti tawa lebar. Kecelakaan dan diskriminasi tak membuat pria bertubuh besar ini kapok. Ia justru ingin mengubah perilaku berkendaraan di Jakarta. "Lebih baik kita tunjukan bahwa memang ada orang-orang yang berinisiatif bersepeda untuk kurangi polusi dan kemacetan sehingga pihak-pihak terkait ngeliat sudah banyak orang bersepeda," katanya.

Adi berharap pemerintah Jakarta memberikan jalur khusus sepeda dan pejalan kaki agar Jakarta Hijau cepat terwujud. "Trotoar di Jalan Sudirman kan lebar dan indah sekali," katanya. "Saya pikir dipotong 1,5 meter buat kita-kita yang bersepeda ini nggak apa-apa."Peminat sepeda semakin bertambah. Menurut Ketua Komunitas Bike to Work Toto Sugito, kini ada 3.000 pesepeda di seluruh Indonesia. Padahal waktu didirikan tahun 2004, anggota Bike to Work hanya 150 orang.

Untuk menarik minat orang beralih ke sepeda, Toto mengadakan program konvoi sepeda keliling Jakarta di saat macet. "Kami sengaja demonstratif untuk menyampaikan pesan daripada kena macet mari naik sepeda," katanya. Pria berumur 44 tahun ini berharap, dengan beralih ke sepeda kualitas udara di kota besar seperti Jakarta bisa diperbaiki. Karena upayanya itu, pada tahun 2005 sebuah organisasi nirlaba asal Swiss, Sisscontact, menganugerahi Clean Air Award untuk komunitas Bike to work.

Sedikitnya orang yang meminati sepeda karena tidak ada fasilitas yang memadai bagi mereka. Maka Toto dan teman-temannya gencar meminta pengelola gedung perkantoran di Jakarta menyediakan tempat parkir sepeda dan loker sewaan untuk menyimpan handuk dan peralatan mandi. Mereka juga ingin disediakan kamar mandi sewaan di gedung-gedung perkantoran.

Toto dan rekan-rekannya pernah menemui Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo untuk meminta jalur sepeda. Fauzi Bowo berjanji menyediakan jalur sepeda kalau sudah ada satu juta pesepeda di Jakarta. Sementara di Bogota, India, pengguna sepeda justru meningkat setelah dibangun jalur khusus. Dari semula hanya 4%, dalam lima tahun pengguna sepeda menjadi 14%.Toto yakin sepeda bisa menjadi solusi bagi masalah transportasi dan polusi di Jakarta.

Karena menurut penelitian Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNDP, Jakarta merupakan kota berudara terkotor ketiga di dunia, menyusul Meksiko dan Bangkok. Setiap hari tak kurang tiga juta kendaraan melintasi Jakarta. Kendaraan itu menyumbang 70% asap yang mengandung karbon, timbal, dan bahan beracun lain. Polusi itu sangat membahayakan jantung, otak, dan paru-paru.Menurut Toto, jika 25% penduduk Jakarta bersepeda, polusi dan kemacetan sudah teratasi. Selain itu cadangan energi nasional bisa dihemat.

Toto yakin sepeda bisa diintegrasikan dengan sistem transportasi padat massal yang tengah dikembangkan pemerintah Jakarta. Ia ingin ada tempat penitipan sepeda di halte-halte busway dan monorel. "Untuk jarak jauh ditempuh dengan busway," katanya. "Kita bisa naik sepeda ke stasiun terdekat, kemudian naik busway. Dan ini sudah dibahas oleh Pemda DKI." Selain penyediaan fasilitas, menurut Toto, perlu mengubah pandangan masyarakat mengenai sepeda.

"Image-nya sepeda kan kendaran tukang-tukang. Terbukti sekarang sudah banyak pekerja profesional yang pakai sepeda. Ini hanya masalah gengsi, kok." Karena penasaran, saya mencoba bersepeda dengan komunitas Bike to Work. Ternyata bersepeda di Jakarta asyik juga. (E2)

Naskah ini dimuat di situs VHRonline.

0 comments:

Newer Post Older Post Home