Kisah jurnalis tunanetra yang gigih mencari berita, meski tak mampu melihat dunia.
Rama Aditia (25) bukan jurnalis sembarangan. Ia seorang jurnalis tunanetra. Lelaki ini memulai karier dari media Mitra Netra News Online dua tahun lalu, sebuah situs yang dikelola oleh para tunanetra di Jakarta.
Kini ia bekerja untuk sebuah situs terkenal, detik.com.Tokoh yang pertama kali ia wawancarai pun pejabat tinggi negara, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo. Ditemani seorang fotografer, Rama berhasil mengorek informasi dari menteri ini.
"Mulanya bingung. Kalau nggak ada pendamping, sulit sekali rasanya," kata Rama.Untuk mengenali narasumbernya, Rama terlebih dahulu selalu memastikan orang yang akan ia wawancarai adalah benar calon narasumber yang ia maksud.
Lebih sulit lagi jika meliput suatu acara yang dihadiri banyak orang. Namun, pria gempal ini tak kehabisan akal. Ia selalu menempel jurnalis lain yang bermata normal. Rama juga tak segan minta bantuan jurnalis lain untuk mencari narasumber yang ia maksud.
Sebagaimana jurnalis lain, Rama pun bisa bekerja secara profesional. Ia selalu mematuhi tenggat yang ditentukan, meski harus menghadapi banyak kendala. "Mengejar narasumber itu bukan pekerjaan mudah," kata Rama.
Agar dapat mendiskripsikan narasumber, Rama akan menanyainya secara detail tentang penampilan si narasumber. "Perlu agreement dengan narasumber. Minta tolong narsum duduk di depan kita, menjelaskan misalnya seperti apa pakaiannya," katanya.Berbekal perangkat lunak Screen Reader, Rama dapat menulis beritanya sendiri. Perangkat ini dibuat khusus untuk tunanetra.
Setiap jarinya menekan keyboard, komputer itu akan "membaca" huruf yang ia tekan. Dengan perangkat itu pula dia dapat berselancar di internet untuk melakukan riset sederhana. Rama juga bisa meng-upload berita sendiri.
Sejak dulu Rama memang bercita-cita menjadi jurnalis. Ia mengaku ingin mendobrak anggapan bahwa tunanetra hanya bisa menjadi tukang pijat. "Sampai saat ini sebagian besar orang masih melihat dari statusnya, bukan dari skill yang dimilikinya," ujarnya.
Rama belajar jurnalisme dari Yayasan Mitra Netra. Di sana ia belajar menulis, menggunakan komputer, hingga jurnalisme. Bahkan yayasannya sudah menerbikan buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach edisi khusus untuk tunanetra. Buku tersebut bisa diakses para tunanetra yang ingin belajar jurnalisme.
Menurut penulis sekaligus editor Mitra Netra, Aria, pelatihan di bidang jurnalistik ini mulai dirintis sejak 1998. Mitra Netra bekerja sama dengan kantor berita Antara menyelenggarakan pelatihan jurnalisme. Mereka pun menerbitkan media berbasis internet.
Media itu dirintis oleh enam orang yang bekerja sebagai editor dan fotografer. Selain itu, media ini memiliki kontributor di Bandung, Surabaya, dan Makassar. Para tunanetra menuliskan berita melalui situs ini.
Menurut Aria, para tunatera ingin memberikan informasi mengenai kaum tunanetra dari sudut pandang mereka sendiri. "Kami memuat berbagai aspek, pendidikan, sosial, budayanya, kesehatan," katanya.
Mitra Netra juga mengangkat isu-isu aktual, dengan porsi 40 persen. "Mei itu kan ada Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Nah, kami juga sesuaikan dengan isu-isu seperti itu. Desember juga ada hari HAM, AIDS," kata Aria.
Para tunanetra yang baru belajar meliput berita biasanya didampingi jurnalis yang lebih senior.
"Tunanetra pun dapat menjadi jurnalis yang sama baik dan profesionalnya dengan yang lain," kata Aria yakin.Aria yang juga tunanetra, menilai karya jurnalistik para tunanetra punya warna sendiri dalam penulisannya yang diperkaya oleh informasi dari pencerapan indera lain, seperti penciuman dan pendengaran.
"Prinsipnya, karya jurnalistik itu kan karya olah pikir," kata Arya. "Untuk mendapatkan informasi, penglihatan itu salah satu dimensi saja. Selebihnya harus diolah dengan pikiran si wartawan itu, untuk kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan," kata anggota Aliansi Jurnalis Independen ini.
Arya optimistis para tunanetra bisa menjadi perancang grafis ataupun fotografer. Berkaitan dengan itu, Yayasan Mitra Netra bekerja sama dengan Universitas Bina Nusantara mengembangkan perangkat lunak Mitra Netra Tectile Graphic Software. Perangkat lunak ini memungkinkan para tunanetra membuat gambar timbul dengan bantuan komputer. Sebuah kemajuan lagi. Semoga lebih banyak lagi media mempekerjakan jurnalis tunanetra. (E2)
Naskah ini dipublikasikan disitus VHRonlie
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment