Dia berjuang melawan radang otak. Ada tipu dan janji-janji.

Di pinggir lintasan lari Stadion Utama Gelanggang Olah Raga Bung Karno, Senayan, Jakarta Selatan, Susi Susanti duduk bersimpuh memangku Fahmi Fitroni. Berbekal alas koran dan payung kecil pelindung dari terik mentari, setiap Minggu Susi dan anak keduanya itu duduk di sana.
Di atas koran itu berjejer dokumen dari rumah sakit yang menyatakan Fahmi ((9) mengidap radang otak. Ada juga surat penyataan tidak mampu dari Pemerintah Kota Serang dan foto-foto Fahmi terbujur kaku dengan badan kurus kering. Di depan Susi terdapat kotak amal dari kayu cokelat dan sebuah tulisan ”Mohon bantuannya untuk biaya pengobatan anak yatim, Fahmi Fitroni, yang mengidap radang otak”.

Penampilan Susi tak seperti pengemis. Pakaian dan kerudung yang dikenakannya bersih. Wajah ovalnya yang berhidung mancung mulai keriput. Dahinya juga penuh kerut, lingkaran matanya menghitam. Padahal perempuan ini baru berusia 35 tahun.
Fahmi, bocah berkulit putih itu juga bersih dan terawat. Kakinya bersilang kaku. Tulang rusuknya menonjol seperti piano.

Sambil terus memeluk Fahmi dan sesekali menciumnya, perempuan kelahiran Dumai itu bertutur. Dulu Fahmi gemuk, lucu, dan menggemaskan. Tingkahnya selalu mengundang tawa siapa pun yang melihatnya. "Malah Fahmi itu lahirnya besar banget, 4,2 kilo," kata Susi.
Namun, petaka datang pada suatu Jumat siang beberapa hari setelah ulang tahun ketiga Fahmi. Hari itu Susi menitipkan Fahmi kepada seorang karyawan rumah makan milik orang tuanya. Namun, tiba-tiba Fahmi menghilang. Setelah dicari ke mana-mana, Fahmi ditemukan orang tua Susi tak sadarkan diri di kamar mandi. Sedangkan si pembantu yang dititipi kabur, tak jelas ke mana. "Fahmi digendong pakai gendongan duduk itu," kisah Susi sembari menyeka air matanya.
Ternyata Fahmi mengalami koma. "Pas saya pulang, anak saya sudah di rumah sakit," ujar perempuan itu sambil mencium kening Fahmi.
Dokter mendiagnosis Fahmi terkena radang otak dan harus segera dioperasi. Namun Susi tak punya biaya. Setelah 15 hari dirawat di Rumah Sakit Serang, Fahmi dinyatakan telah mati. Mendengar berita itu Susi bagai tersambar petir. Ia menangis sejadi-jadinya. "Saya belum puas ngobatinnya,” katanya.
Tapi Tuhan mungkin mendengar ratap tangis Susi. Setelah hampir dua jam jantung Fahmi tak berdetak, tiba-tiba tubuhnya bergerak. Bocah itu segera dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta untuk penanganan lebih lanjut.

Berbekal kartu Jaring Pengaman Sosial dan surat keterangan tidak mampu dari Bupati Serang, Susi membawa Fahmi ke Jakarta. Namun, sampai di RSCM, Susi kembali kecewa. Jangankan mendapatkan pengobatan memadai, untuk mendaftarkan Fahmi sebagai pasien saja tidak dilayani. "Maunya gratis saja. Emangnya kami mau makan surat?” Kalimat pedas seorang petugas rumah sakit itu terpatri di benak Susi. “Fahmi dibiarin saja, nggak ditangani," ujarnya.
Susi harus bersitegang dengan petugas rumah sakit. Akhirnya Fahmi mendapat kamar kelas III. Dokter RSCM menyatakan Fahmi harus segera dioperasi, jika tidak nyawa bocah itu tidak tertolong lagi.

Dokter menyodorkan kenyataan menyesakkan dada, biaya operasi Rp 40 juta. "Sedangkan untuk nebus obat yang harganya mencapai jutaan rupiah kami sudah ngos-ngosan," kata Susi.
JPS hanya bisa membiayai untuk obat tidur, sementara obat yang penting untuk Fahmi tidak termasuk dalam tanggungan Jaring Pengaman Sosial itu. Seluruh harta benda Susi sudah dijual, namun tidak cukup.

Setelah dirawat sepuluh hari, Fahmi disarankan dokter untuk rawat jalan, karena percuma saja jika hanya dirawat tapi tidak dioperasi. "Katanya sudah nggak bisa diapa-apain. Kata dokter, anak saya ini tidak bertahan hidup sampai setahun. Dokter dah angkat tangan. Tapi masa saya harus putus asa?" katanya.

Menurut perempuan asal Kampung dan Desa Kramatwatu, Serang Banten, ini Fahmi memang sering menangis dan mengerang kesakitan, namun tak bisa bicara. Setelah menangis keras, biasanya Fahmi kejang. Untuk mengurangi kejang itu Fahmi harus diberi obat yang dimasukkan lewat dubur. Padahal, sehari Fahmi mengalami kejang sampai tiga kali dan Susi harus memasukkan tiga butir obat seharga Rp 43 ribu per butir ke dubur Fahmi. Dalam sebulan Susi harus menebus obat Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta.
Beban Susi makin berat setelah suaminya meninggal dunia enam tahun lalu, karena frustrasi dan tertekan. Ayah Susi pun menyusul tak lama kemudian. Kini tak ada lagi keluarga tempatnya bersandar. Bahkan, warung nasi orang tuanya terpaksa dijual. Sementara keempat anaknya yang lain juga membutuhkan biaya. Imam, si sulung, kini sudah kelas I SMP. Adik perempuan Fahmi kini kelas I SD. Dua adik Fahmi yang lain belum sekolah.

Untuk menutup biaya pengobatan Fahmi, ibu lima anak ini menempuh berbagai cara. Semua jalan ia coba. Semua pintu instansi pemerintah sudah diketuk. Beberapa kediaman pejabat sudah ia sambangi. Bahkan, beberapa stasiun televisi yang mempunyai program uluran kasih sudah didatangi. Semua sia-sia. Yang didapat hanya janji.
Jika mujur, Susi mendapat uluran tangan dari instansi yang didatangi. Namun ia harus menandatangani kuitansi kosong. Ketika ditanya, petugas beralasan sibuk, tidak sempat menulis nominal bantuan yang diberikan.

Susi juga pernah mendatangi kantor Gubernur Banten. Tapi bukanya bantuan yang didapat, ia malah diusir, dianggap pengemis dan mengotori kantor gubernur.
Pernah pula dia mendatangi kantor pusat sebuah partai politik. Di depan sejumlah wartawan, pengurus partai itu berjanji membantu pengobatan Fahmi sepenuhnya. Bahkan, Susi pun diberi surat pernyataan bahwa partai itu siap membantu. Berbekal surat itu Susi pulang dengan dada lega. "Kayaknya waktu itu bener-bener deh, bapak itu mau nolong. Tapi sampai setahun lebih saya terus nelpon, katanya persetujuannya lagi diproses. Saya nunggu terus, nelpon terus. Tapi nggak ada. Bohong," ujarnya geram.

Susi tak menyerah. Sampai ketika seseorang yang ditemuinya di rumah sakit menyarankan untuk ke Istora Bung Karno setiap hari Minggu. "Di Senayan banyak menteri dan pejabat berolahraga, siapa tahu bisa bertemu mereka dan minta bantuan,” kata orang itu.
Pertama kali mangkal di Senayan Susi diusir petugas keamanan. Tapi dia nekat, tetap duduk di pinggir lintasan. Lama-lama dibiarkan saja. “Tapi sampai sekarang belum pernah ketemu menteri," ujarnya.Tidak semua orang bersimpati pada keadaan Susi. Tak jarang ibu ini menangis karena ulah pengunjung yang melecehkan. "Ada yang ngasih duit seribu rupiah dilemparin ke muka saya.”

Ada juga seorang pria yang hobi lari pagi dan sering melontarkan pertanyaan teramat menyakitkan. "Belum mati-mati juga, Bu, anaknya?” kata laki-laki itu.
Susi pun pernah dibohongi wartawan sebuah media cetak yang katanya ingin menolong. Wartawan itu menuliskan kisah Susi di medianya dengan harapan ada pembaca yang mau menolong. Surat-surat dan hasil diagnosis Fahmi yang asli dibawa wartawan itu berikut foto-foto Fahmi. Wartawan itu sempat beberapa kali berkunjung ke rumah Susi. Suatu hari beberapa pembaca media itu mendatangi Susi di Senayan. Mereka bilang telah menyumbang lewat si wartawan itu. "Tapi, sampai saat ini saya nggak terima uang itu," ujarnya menahan sedih. Si wartawan pun tak pernah muncul. "Kayaknya saya hanya dibisnisin saja."

Kini Susi kerap dihajar tekanan darah tinggi. Dan putri ketiganya mengalami pembesaran kelenjar tiroid. Tapi ibu ini tak menyerah. "Saya jalanin saja sepanjang umur saya, sekuat-kuatnya saya....”[end]

Foto: Susi Susanti bersama Fahmi mengharap belas kasih pengunjung Gelora Bung Karno (Liza Desylanhi)
Naskah ini dipublikasikan di situs VHRonline pada, 13 Juni 2007.

0 comments:

Newer Post Older Post Home