"Suatu saat nanti, saat manusia sudah tak mempedulikan alam lagi, akan timbul panas yang membakar, penyakit keras, makanan susah, gempa bumi. Manusia akan menderita. Semua itu akibat alam yang rusak."

PATUNG keluarga petani menyambut kami di Desa Ciboleger, Lebak, Rangkas Bitung, Jawa Barat. Ini adalah desa yang berbatasan langsung dengan perkampungan Badui Luar. Kendaraan hanya bisa sampai di sini. Untuk mencapai kampung Badui terdekat, kita harus berjalan kaki.

Tak lama berjalan, suara orang menenun kain mulai terdengar, berpadu dengan suara alu bertemu lesung dari saung alu. Rupanya kegiatan menumbuk dan menampih padi sudah dimulai sedari tadi. Ini tandanya perkampungan Badui sudah dekat.

Di sini tak ada mesin penggiling padi. Seperti di Badui Dalam, masyarakat Badui Luar juga tidak menggunakan listrik dan barang elektronik. Di sini juga tak ada alat transportasi. Semua aktivitas dilakukan berjalan kaki. Meskipun Badui Luar lebih toleran, kalau keluar kawasan Badui mereka naik kendaraan. Bahkan, kini sudah banyak warga Badui Luar yang menggunakan telepon genggam. Alasannya agar komunikasi dagang mereka lebih lancar. Selain bertani, warga Badui juga berdagang hasil bumi, kecuali padi dan beras, mereka juga berdagang kerajinan tangan.

Deretan rumah panggung, rumah khas Badui, berjajar rapi. Rimbunan pepohonan membuat desa ini sejuk dan asri. Kicau burung menambah merdu musik alam pagi ini. Pemanasan global yang kini ramai dibicarakan tak terasa di sini. Bentuk rumah di Badui Dalam dan Badui Luar hampir sama. Bedanya di Badui Dalam seluruh rumah menghadap ke utara atau selatan. Selain itu pembuatannya tidak menggunakan paku tetapi rotan, akar, atau kulit kayu sebagai pengikat.

Di salah satu rumah penduduk Desa Kadu Ketug, kami berhenti. Ayah Mursyid, juru bicara Badui Dalam atau yang biasa di sebut Jaro Palawari, menyambut kami. Seperti kebanyakan orang Badui, pria ini selalu menggunakan baju dan ikat kepala putih serta kain tenun berwarna gelap yang panjangnya sedengkul. Ia biasa menyampirkan buntalan putih di bahu kanan dan bertelanjang kaki. Ditemani kopi dan durian kami ngobrol di sosoro, teras rumah, sambil melepas lelah.
Ayah Mursyid bercerita, saat ini di desanya, Desa Cibeo, kawasan Badui Dalam, sedang berlangsung upacara adat. "Tadi ada acara Mipit, syukuran panen pertama. Setelah selesai baru saya turun ke sini," ujarnya sambil tersenyum.

Karena alat perekam dan kamera terlarang di perkampungan Badui Dalam, maka wawancara dengan Ayah Mursyid dilakukan di kawasan Badui Luar. Untuk itu, pria berkulit putih dan perawakan sedang ini bersedia berjalan tanpa alas kaki menempuh jarak 12 kilometer menuju Kadu Ketug, tempat kami bertemu. Menurut warga sekitar, dari Desa Cibeo menuju Kadu Ketug harus melintasi 7 bukit. Sepertinya bukan perjalanan yang mudah.

Tak ada jalan buatan manusia di perkampungan Badui. Yang ada hanya jalan setapak, di sela rimbun pepohonan. Kata Ayah Mursyid, filosofi lojor heunteu beunang dipotong, pendek heunteu beunang disambung, hingga kini dipegang betul oleh masyarakat Badui. Artinya, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung. Menurut pria berwajah indo ini, mereka sama sekali tak boleh mengubah kondisi alam. "Kalimat gunung ulah dilebur, lebak ulah dirusak, larangan di darat dan dicai," katanya. Kalimat itu berarti menyatu dengan suatu bentuk kewajiban kami kepatuhan pada leluhur, tugas kami adalah menjaga alam dan lingkungan. Kami berupaya terus menjaga alam dan lingkungan, kelestarian dan kesimbangan.

Filosofi itu tercermin di seluruh sendi kehidupan masyarakat Badui yang sederhana. Meski tampak sederhana, sebenarnya mereka memiliki pola pikir dan sistem sosial yang sangat modern. Itu terlihat dari penataan dan pembagian kawasan, kampung, dan rumah orang Badui yang sangat apik. Begitupun dengan pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab. Semua berporos pada kelestarian alam.

Penataan kawasan Badui seluas 5.100 hektare lebih itu sesuai peruntukannya. Seluas 3.000 hektare di antaranya adalah kawasan hutan lindung yang mereka jaga sangat ketat. Sisanya dibagi menjadi daerah hunian, ladang atau mereka biasa menyebutnya huma, dan lumbung padi. "Adat punya konsep mana yang bisa dikelola untuk kebutuhan masyarakat. Contohnya berladang. Mana yang tidak bisa dibikin ladang itu tetap dilestarikan. Sudah ada batas-batas alamnya," kata pria berusia 37 tahun ini.

Sementara kawasan hutan lindung tak mereka jamah sama sekali. "Hutan larangan atau hutan lindung itu hanya kita minta barokahnya. Itu tetap harus dijaga, karena itu adalah sumber-sumber air. Katakanlah jantungnya alam, jantungnya bumi, paru-parunya. Kita hanya minta barokahnya, bukan untuk dibuka," ujar pria yang tak merokok ini. Tak ada seorang pun warga Badui Dalam yang merokok, karena dilarang oleh adat. Pantang.

Jangankan menebang pohon hutan lindung, meratakan tanah garapan saja petani Badui tak berani. Mereka sangat teguh menjaga alam sebagai jantung kehidupan, meski itu berarti harus menanam padi di ladang berbukit. Sebab, mengubah kontur tanah berarti merusak alam, menyakiti alam. Mereka meyakini menyakiti alam bisa fatal akibatnya bagi manusia, seperti terjadi saat ini, pemanasan global. "Pemanasan global itu kan istilah baru. Sejak dulu adat sudah menyiratkannya," kata pria berambut ikal ini. "Suatu saat nanti, saat manusia sudah tak mempedulikan alam lagi, akan timbul panas yang membakar, penyakit keras, makanan susah, gempa bumi. Manusia akan menderita. Semua itu akibat alam yang rusak."

Ayah Mursyid menambahkan, sesungguhnya rusaknya alam juga menandakan rusaknya moral manusia yang sejak awal dititipi untuk menjaga alam ini. Akibatnya, alam juga akan menuntut bagiannya. Kalau bukan manusia, siapa lagi? Karena manusia makhluk sempurna yang lebih cerdas, mempunyai akal budi. Semestinya juga lebih patuh.

Menurut dia, pelestarian lingkungan tidak bisa hanya dilakukan oleh masyarakat Badui. Seluruh pihak juga harus melakukan langkah serupa. Karena itu, dalam perayaan adat Seba, yakni mengunjungi kepala pemerintahan daerah mulai dari camat hingga gubernur, yang dilakukan setiap tahun setelah panen, pemuka adat Badui tak jemu meminta pemerintah untuk serius menjaga kelestarian alam. Namun, mereka hanya bisa mengimbau semua pihak agar melestarikan lingkungan.

Sayang sekali upaya itu tak sepenuhnya berhasil. Ayah Mursyid mengkritik pola pembangunan pemerintah yang sering tidak berwawasan lingkungan. "Kalau segelintir pembangunan di bidang perumahan, di bidang jalan, di pabrik-pabrik itu perlu dilihat dulu mana yang perlu dibangun mana yang perlu dilestarikan. Padahal kadang itu perlu dilestrikan. Penuh pembangunan yang tidak cocok dengan itu. Itu merusak alam," katanya.

Kalau sudah begini, tak heran jika dia kerap menjadi geram. "'Jelas kita tidak setuju kalau (pembangunan) untuk merusak alam. Dia tujuannya numpang di mana? Kan tetep numpang di alam, hidup di alam. Mau masyarakat biasa, mau pejabat tetap saja. Jabatan itu kan cuma masalah waktu, kan? Tetap saja harus memahami alam dan lingkungan," katanya.

Ayah Mursyid juga khawatir peningkatan jumlah pengunjung hingga ke wilayah Badui Dalam akan berdampak buruk terhadap pelestarian alam. Karena banyak pengunjung yang membuang sampah plastik, kaleng, dan botol kaca sembarangan. Padahal, sebelum naik ke wilayah Badui, para pengunjung telah diperingatkan untuk membawa kembali sampah mereka. "Ada juga yang nakal buang sampah sembarangan," katanya. "Maka kami dari pihak adat suka mengumpulkan sampah dan membawa ke tempat yang jauh dari halaman kampung dan membakarnya. Kalau semua pihak tidak bertanggung jawab, kami dari pihak adat khawatir juga mengenai sampah tadi. Karena kalau dari bahan itu kan katakanlah ratusan tahun tidak hancur," ujarnya.

Karena itu, kata Ayah Mursyid, tiga bulan dalam setahun kawasan Badui Dalam tertutup bagi pengunjung. Mereka menyebutnya bulan Kawalu. Nah, bulan Maret ini termasuk bulan Kawalu dalam penanggalan masyarakat Badui. Pada bulan ini selain ada serangkaian upacara adat, warga tiga desa itu pun melaksanakan ritual bersih kampung. Semua itu demi pelestarian dan menjaga keseimbangan alam.

Selain itu tangan-tangan nakal warga di sekitar wilayah tersebut juga menjadi tantangan berat masyarakat Badui dalam mempertahankan kelestarian alam. Tak jarang pohon di dalam kawasan hutan lindung dicuri. Untuk masalah satu ini, lembaga adat bekerja sama dengan perangkat desa.

Humas Desa Kadu Ketug, Marsadi, mengungkapkan, ada beberapa titik rawan pencurian kayu di kawasan hutan lindung, khususnya yang berdekatan dengan kawasan di luar Badui. Secara rutin setiap minggu perwakilan lembaga adat dan perangkat desa mengontrol khususnya kawasan hutan lindung. Beberapa kali ronda itu menangkap basah pelaku pencurian, yang penyelesaiannya diserahkan pada aparat kepolisian. "Kalau dari pihak aparat bener-bener tegas, mungkin yang lainnya nggak berani lagi," kata pria berkulit cokelat ini.

Tak pernah ada hukum tertulis mengenai seribu larangan, tabu, dan pantangan di Badui. Semua disampaikan secara lisan secara turun-temurun ke anak cucu mereka. Kata Ayah Mursyid, satu kunci utama menjaga alam tetap lestari adalah berhenti mengedepankan hawa nafsu dan serakah. Meski pengaruh budaya luar dirasa kian kuat mendesak nilai-nilai masyarakat, dia yakin generasi muda Badui tak akan tergoyahkan, tak menyerah. "Jangan frustrasi, jangan kita melemah. Kembali ke pegangan hidup masing-masing, keimanan dan peraturan. Walaupun kita susuah, kita repot, tetep kita harus semangat menuju upaya pelestarian," katanya. (E1) Foto-foto: Adri Irianto

Naskah ini pernah dipublikasikan di situs Voice of Human Right pada18 Maret 2008

0 comments:

Newer Post Older Post Home