40 tahun bekerja sebagai penjaga kuburan. Upahnya Rp 25 ribu hingga Rp 100 ribu per bulan. Ada juga penjaga yang penuh hura-hura.
Sesekali pria tua berpakaian serba hitam itu membungkukkan badan di depan nisan. Tangan keriput itu meraih kuntum-kuntum bunga kamboja yang berguguran, lalu memasukkannya ke kantong kresek bening. Kantong itu sudah hampir penuh bunga kamboja aneka warna. Rumput peking di atas makam pun dirapikannya.
Begitulah Cakra Dewinata melewati hari-harinya sebagai perawat dan penjaga makam di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak. Sudah hampir 40 tahun pekerjaan itu dilakoninya. Istilahnya sebagai tenaga partikelir.
Siang akhir September lalu suasana pemakaman itu sangat lengang. Selain kesibukan upacara pemakaman di empat titik berbeda di pekuburan Karet, hanya tampak satu-dua peziarah. "Biasa memang begini. Sepi. Ramenya itu pas munggahan dan Lebaran, itu rame dah yang datang," ujar kakek pendek kekar ini. Makanya tak banyak aktivitas penjaga dan perawat makam. Hanya beberapa orang yang merapikan makam, sementara yang lain memilih tidur-tiduran di pondok-pondok.
Menurut Pak Cakra, memang tak perlu setiap hari makam dirawat. Paling sering seminggu tiga kali. Makam disapu dan disiangi dari rumput liar serta nisan keramik dipel. Kecuali makam yang beralaskan rumput, pada musim kemarau seperti ini harus disiram setiap hari. Apalagi sebentar lagi Idul Fitri tiba, jangan sampai makam yang diurus terlihat tak terawat oleh ahli waris.
"Khusus selama bulan Puasa ini saya melihara tiga anak buah. Soalnya takut (pekerjaan) nggak kepegang," ujarnya.
Maklum saja sekitar 200 makam harus dirawat kakek 9 cucu ini. Penghasilannya lumayan. Untuk sebuah makam, Cakra dibayar Rp 25 ribu hingga Rp 100 ribu per bulan. Itu belum termasuk penghasilan tambahan dari pemberian peziarah. Menjelang Ramandan saja dia mendapat lebih dari Rp 5 juta. "Lumayan penghasilan di sini. Saya bisa ngegedein delapan anak sampe punya cucu. Semuanya dari sini," ujar lelaki kelahiran Cirebon ini.
Profesi sebagai perawat makam ditekuni Cakra sejak usia 15 tahun karena tuntutan ekonomi. Penghasilannya sebagai tukang becak tidak mencukupi. Begitupun ketika ia beralih profesi sebagai sopir bajaj. Semula ia berjualan es di sekitar pekuburan Karet. Dulu TPU Karet tidak sebagus sekarang. "Dulu mah boleh dikata di sini bukan serem lagi. Banyak rumput alang-alang hingga satu meter tingginya. Waktu itu baru ada pemakaman liar. Sekarang aja udah enak, dah rapi, pemandangannya ada. Dulu mah orang maling larinya ke sini," tuturnya.
Meski seram, menurut Cakra, TPU Karet tak seseram yang dibayangkan orang. Dulu memang ada sesekali ia mendengar suara-suara tanpa wujud atau penampakan yang diduganya sebagai makhluk halus. "Waktu itu jagat gerimis, abis ujan. Orang pada jalan-jalan. Terus ada cewek jalan, rambutnya panjang, harum banget. Pas di balik pohon, eh dia ngilang."
Suatu kali dia pernah tidur di atas tikar bekas membungkus jenazah. "Orangnya dah dimasukin (liang lahat), kan tikernya nggak dipake. Saya ambil buat tidur. Eh, diubek-ubek sama yang punya tiker yang dah meninggal. Suruh pulangin. Pulangin tiker gue, katanya. Pas liat kanan-kiri, nggak ada orang. Besoknya saya balikin aja. Saya taruh di atas kuburannya," tuturnya.
Namun kini cerita-cerita seperti itu sudah lama tak terdengar. Pemakaman kini bukan lagi tempat menyeramkan. Bahkan Cakra sering tidur di kuburan, karena malam hari di pemakaman tidak seangker yang dibayangkan. "Rame. Jam lima aja orang pada olahraga, kok. Kalau (kuburan) di kampung, mungkin serem. Kalau di sini nggak," katanya.
Hal senada dikatakan Romli, salah seorang pengurus makam dan penggali kubur. "Memang dulu sekitar tahun 75-80 gitulah, kan kuburan seperti hutan. Kalau sekarang dah nggak, dah metropolitan. Malem aja dah ada listrik terang benderang. Jadi, orang nggak takut," kata lelaki yang sudah bergelut di pemakaman Karet sejak usia 10 tahun ini. Karena sudah tidak angker lagi, mereka sering berseloroh dengan menyebut kuburan sebagai taman tulang.
Selain sebagai areal pekuburan, pemakaman punya fungsi lain bagi pencari nafkah di sini. "Kuburan namanya juga taman. Di sini yang jeleknya ada, buat pacaran, main judi, buat mabok.
Liat aja kalo malam Minggu, banyak," ujar Cakra muram. Biasanya orang-orang itu melakukannya dalam areal pemakaman, di sela-sela batu nisan yang membisu. Pelakunya rekan-rekan sesama perawat makam. Bahkan, tidak cuma itu. "Ada aja sih kupu-kupu malam. Ada juga di sini."
Sering kali Cakra berniat mengingatkan, tapi ia tak berani mengutarakannya. Pak tua ini tak ingin ribut, meski tak sedikit pun rasa segan terhadap arwah ditunjukkan oleh teman-temannya. "Kita sih takut, tapi orang nggak waras mah nggak takut. Kita sering liat, tapi masa bodo amat. Orang dah kebiasaan dia. Tiap hari di sini. Berbuat di mana aja juga jadi. Tapi saya nggak mau.
Boro-boro kita bisa ngaji, belain yang dah meninggal, malah kita bikin jorok gitu? Dulu mah ngga ada. Anak sekarang aja main di kuburan banyak bertingkah," katanya kesal. Meski demikian, pegawai Dinas Pemakaman DKI Jakarta tidak pernah melakukan penertiban.
Romli mengakui hal itu. "Di kuburan banyak yang nggak bener, banyak hura-huranya. Cewek mulu. Kalau punya duit banyak, ada perempuan, istilahnya nemenin, main perempuan, minum-minum," katanya. Dia mengaku hampir setiap malam minum minuman keras bersama rekan-rekannya. Ayah empat anak ini menyebutnya doping, alias minuman bervitamin. "Emang orang kuburan rata-rata gitu. Soalnya kan tiap hari liat mayat, ngeri juga. Buat ngilangin stres. Jadi, rata-rata tukang gali itu minum alkohol. Kalau liat di sinetron tukang gali abis nggali minum-minum. Itu bener," ujarnya sambil terkekeh.
"Kalau nyiumin bumi kan dibuka semua mukanya. Kalau yang melotot, serem juga. Biasanya (mayat) orang narkoba serem. Orang narkoba kan mulutnya mangap dan melotot. Itu paling serem," katanya sambil sesekali tangan kekarnya menyapu buliran keringat yang membasahi wajah. Ia baru saja menggali dan menutup makam baru.
Menurut Romli, uang begitu mudah didapatkan di kuburan. Yang penting rajin. Jika apes, setidaknya ia masih bisa mengantongi Rp 100 ribu hingga 150 ribu sehari. Itu di luar penghasilan dari merawat 50-an makam dengan upah rata-rata tiap makam Rp 100 ribu per bulan. Bahkan, terkadang dia mendapat borongan membangun makam. "Tiba-tiba dapet order, borongan gede, nih. Bikin bangunan standar makam gini aja 5 juta rupiah. Buat tukang 2 juta, 3 juta buat kita, dah. Asyik dah, enjoy-enjoy. Kalau umpama istilah laki-laki, di depan bapak ada minuman, sebelah bapak ada cewek," ujarnya sambil tertawa lebar. Namun, dia mengaku tidak lupa tanggung jawabnya pada keluarga. Empat anaknya bersekolah hingga lulus SMA.
Memang terkadang Romli hanya mendapatkan borongan Rp 1 juta. Tergantung kepandaian merayu pelanggan. "Kayak orang dagang, mau cari keuntungan lebih banyak. Sama aja kayak orang di kuburan yang ngerawat," katanya.
Besaran upah merawat menentukan kebersihan makam. Jika tak ada uang, jangan harap makam keluarga Anda akan dibersihkan dan dirawat. "Bukan preman kuburan, Mbak. Kalau nggak bayar, siapa yang mau nyiramin? Kalau komersial, kita kagak, emang udah penghidupan saya di kuburan, mata pencaharian saya. Bukan komersial ya. Kalau dibilang Dinas Sosial juga bukan," kilah Romli.
Biasanya setiap bulan Romli datang ke rumah ahli waris makam yang diurusnya. Tetapi ada juga yang didatanginya sekali enam bulan, tergantung perjanjian. Nah, buat orang tak mampu, Romli punya pertimbangan sendiri. "Kalau buat yang nggak mampu, setahun sekali aja. Kalau diamanatin, ntar kalau mau Puasa dan mau Lebaran bersih-bersih ya. Kita kerjain," katanya. Buat yang seperti ini Romli tak memasang tarif. Seiklasnya saja.
Sebesar apa pun penghasilan dari makam, kata Romli, sering kali uangnya melayang tak jelas. "Ini duit panas juga. Duit air mata cepet abis juga. Lain duit kerja ama duit kuburan. Sekarang nih saya dapet 100 ribu. Besok dah nggak punya," katanya.
Begitu juga yang dirasakan Kusnadi. Menurut ayah tiga anak ini, uang dari merawat makam dan membangun nisan tidak pernah bisa terkumpul. Selalu habis. "Uang kuburan mah terlalu panas, cepet abis. Pokoknya nggak pernah jadi, deh. Mungkin karena makan uang orang mati, kali.
Hampir nggak bisa kebeli apa-apa. Ngga punya simpenan. Cuma megang-megang doang. Padahal penghasilan lumayan Kalau dari borongan rumah mah bisa nyimpen emas," ujar pria berusia 37 tahun ini.
Selain kebiasaan minum-minuman, kata Kusnadi, mereka juga gemar menggelar pesta dangdut di areal pemakaman, setidaknya setahun tiga kali. "Menjelang bulan Puasa, kita dangdutan. Manggil organ tunggal. Nggak ada panggung, cuma gelar tiker aja. Yang doyan nyawer ya nyawer. Pas 17-an dan pas tahun baru." Biaya pesta-pesta itu diperoleh dari urunan.
Selain hura-hura, kata Cakra, perselisihan antara sesama pekerja makam juga sering terjadi. Biasanya menyangkut rupiah. "Misalnya ada borongan 1 juta rupiah untuk makam rawatan orang. Kita yang borongin bangun nisannya. Nah, kalo bagi uangnya nggak sesuai buat yang merawat, bisa ribut. Tiap bulan yg bersihin dia. Giliran borongin, yang ngerjain orang lain. Gimana nggak kesel? Kita juga nggak enak."
Pencurian marmer juga kerap terjadi. Biasanya yang jadi target adalah makam yang tak terurus. "Dicongkel, diambil, digosok lagi. Yang ngambil orang sini juga. Orang jauh mana berani sih ngambil marmer?" kata Cakra.
Praktik kuburan tumpang pun banyak terjadi. Menurut Cakra, hal itu dilakukan Dinas Pemakaman karena ahli waris tidak memperpanjang masa kontrak kuburan. Menurut peraturan, setiap 3 tahun sekali ahli waris harus melakukan perpanjangan. Kalau hingga 4 kali masa perpanjangan tidak juga diperpanjang, bisa dipastikan makam akan ditumpang. Biasanya yang ditumpang makam yang tak di rawat. "Kalau nggak dirawat, (kontrak) kuburan nggak diperpanjang, lama-lama hilang. Diliat kuburan alang-alang gini kan berarti nggak dirawat. Ini kesempatan orang kantor, ya ditumpangin (jasad) orang lain." Tapi hal itu tidak berlaku untuk makam yang terawat, meskipun telat diperpanjang. "Orang kantor juga nggak berani, lha bersih gini digali, nggak mau," kata Cakra.
Naskah ini dipublikasikan di situs VHR pada 2 Oktober 2007
0 comments:
Post a Comment