Kedelai langka. Pengusaha tahu dan tempe kalang kabut.
DARI kejauhan sayup-sayup suara diesel terdengar dari balik kandang sapi. Itu pertanda pabrik tahu di daerah Buncit, Jakarta Selatan, tersebut kembali beroperasi. Sebelumnya aktivitas pabrik milik Sutigyo itu berhenti selama 3 hari. Sejak pagi Yoyo, begitu biasa Sutigyo disapa, sudah turun tangan mengisi kekosongan pekerjanya yang belum kembali dari Pekalongan, Jawa Tengah. Baru 8 dari 10 pekerjanya yang kembali.
Pabrik milik Yoyo tidak luas --hanya berukuran 200 m2-- tanpa dinding, hanya beratapkan seng yang sudah berlubang di sana-sini. Drum-drum besar tempat menampung air kedelai bertebaran. Meski kecil, usaha Yoyo ini menopang kehidupan 26 keluarga. Tak terbayangkan bagaimana jadinya jika usaha yang sudah dirintisnya sejak remaja ini tutup. Kata Yoyo, kemungkinan pahit itu sudah menari di pelupuk mata. Awan hitam sudah menggayut sejak akhir tahun lalu, seiring terus melonjaknya harga bahan baku pembuatan tahu dan tempe: kedelai.
Untuk bisa membeli kedelai lagi saja Yoyo sudah bersyukur. Bayangkan saja, dalam dalam satu bulan ini ia terus-terusan merugi Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per hari. "Setiap hari dalam satu bulan ini hanya numpang makan saja," katanya sambil menghela napas. Beberapa temannya sesama pengusaha tahu sudah mulai ambruk. Gulung tikar. Yang tersisa mencoba untuk bertahan. "Kita produksi tahu kan jadi kuat-kuatan, gitu. Yang modalnya masih ada, ya masih berjalan," kata Yoyo.
Agar bisa terus bertahan, Yoyo mengurangi jumlah produksi. Dari semula produksi 5 kuintal kedelai sehari, kini produksi 4 kuintal saja. Untuk memproduksi 4 kuintal kedelai ia mesti menutupi biaya produksi sebesar Rp 4,5 juta. Itu belum termasuk biaya makan dan uang rokok pekerjanya.
Dalam sehari, kata Yoyo, harga kedelai bisa naik hingga dua kali. Yoyo geram, demonstrasi besar-besaran kemarin tak membawa hasil. Penghapusan pajak impor kedelai sebesar 10% tidak berdampak. Harga kedelai terus saja merangkak naik. "Padahal kita pengennya harga kacang stabil, " katanya. "Biar usaha tenang, nggak mikir setiap hari. Istilahnya kacang mau naik, sekarang bikin tahu besok kita jual, pulangnya kacang dah naik lagi...."
Sejak akhir tahun lalu kenaikan harga terjadi setiap hari, dari Rp 10 ribu hingga 25 ribu per kuintal, dan kini harga kedelai Rp 770 ribu per kuintal. Ayah tiga anak ini juga mengeluhkan kualitas kacang kedelai di pasaran. Ia sering menjumpai kedelai oplosan. "Terkadang dioplos sama jagung, dicampur," katanya. "Kalau dulu kita bikin tahu masih (pakai) kedelai murni, kacang juga tua, nggak kayak sekarang ini."
Di tengah kelangkaan kedelai, pemerintah berencana mengupayakan swasembada kedelai. Namun para pengusaha tempe ragu atas keseriusan upaya tersebut. Cahyono, pengusaha tempe di sentra produksi tempe Sentiong, Jakarta Selatan, mengaku sudah lama mendengar rencana seperti itu. Terakhir ia mendengarnya pada tahun 2002. "Dulu pemerintah pernah mencanangkan petani kacang kedelai, ternyata sampai sekarang nggak sukses, gagal terus," katanya. "Pernah dulu waktu kacang kedelai berharga Rp 500-an sekilo, pernah nyuruh petani menanam kacang kedelai. Itu nggak bisa. Sampai sekarang, mana? Nggak ada! Nggak ada wujudnya!"
Pria berusia 45 tahun ini menuturkan, pengusaha tempe kurang suka menggunakan kedelai lokal. Selain sulit mendapatkannya, kedelai lokal butirannya lebih kecil. Kedelai kecil tidak menguntungkan produsen tempe, juga tidak tahan lama. Tapi ia sekarang mendengar pemerintah menyediakan bibit kedelai unggulan yang butirannya tak kalah besar dari kedelai impor.
Menurut Cahyono, pengusaha tahu dan tempe tidak keberatan menggunakan kedelai lokal. Tentu saja ada syaratnya, kualitas dan harganya sama dengan kedelai impor. "Kalau kacangnya lebih bagus atau harganya lebih murah, kita pasti pilih kedelai lokal," katanya. "Kita harap pemerintah bisa menanam kacang sebanyak-banyaknyalah."
Seperti Keledai
Pabrik milik Yoyo tidak luas --hanya berukuran 200 m2-- tanpa dinding, hanya beratapkan seng yang sudah berlubang di sana-sini. Drum-drum besar tempat menampung air kedelai bertebaran. Meski kecil, usaha Yoyo ini menopang kehidupan 26 keluarga. Tak terbayangkan bagaimana jadinya jika usaha yang sudah dirintisnya sejak remaja ini tutup. Kata Yoyo, kemungkinan pahit itu sudah menari di pelupuk mata. Awan hitam sudah menggayut sejak akhir tahun lalu, seiring terus melonjaknya harga bahan baku pembuatan tahu dan tempe: kedelai.
Untuk bisa membeli kedelai lagi saja Yoyo sudah bersyukur. Bayangkan saja, dalam dalam satu bulan ini ia terus-terusan merugi Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per hari. "Setiap hari dalam satu bulan ini hanya numpang makan saja," katanya sambil menghela napas. Beberapa temannya sesama pengusaha tahu sudah mulai ambruk. Gulung tikar. Yang tersisa mencoba untuk bertahan. "Kita produksi tahu kan jadi kuat-kuatan, gitu. Yang modalnya masih ada, ya masih berjalan," kata Yoyo.
Agar bisa terus bertahan, Yoyo mengurangi jumlah produksi. Dari semula produksi 5 kuintal kedelai sehari, kini produksi 4 kuintal saja. Untuk memproduksi 4 kuintal kedelai ia mesti menutupi biaya produksi sebesar Rp 4,5 juta. Itu belum termasuk biaya makan dan uang rokok pekerjanya.
Dalam sehari, kata Yoyo, harga kedelai bisa naik hingga dua kali. Yoyo geram, demonstrasi besar-besaran kemarin tak membawa hasil. Penghapusan pajak impor kedelai sebesar 10% tidak berdampak. Harga kedelai terus saja merangkak naik. "Padahal kita pengennya harga kacang stabil, " katanya. "Biar usaha tenang, nggak mikir setiap hari. Istilahnya kacang mau naik, sekarang bikin tahu besok kita jual, pulangnya kacang dah naik lagi...."
Sejak akhir tahun lalu kenaikan harga terjadi setiap hari, dari Rp 10 ribu hingga 25 ribu per kuintal, dan kini harga kedelai Rp 770 ribu per kuintal. Ayah tiga anak ini juga mengeluhkan kualitas kacang kedelai di pasaran. Ia sering menjumpai kedelai oplosan. "Terkadang dioplos sama jagung, dicampur," katanya. "Kalau dulu kita bikin tahu masih (pakai) kedelai murni, kacang juga tua, nggak kayak sekarang ini."
Di tengah kelangkaan kedelai, pemerintah berencana mengupayakan swasembada kedelai. Namun para pengusaha tempe ragu atas keseriusan upaya tersebut. Cahyono, pengusaha tempe di sentra produksi tempe Sentiong, Jakarta Selatan, mengaku sudah lama mendengar rencana seperti itu. Terakhir ia mendengarnya pada tahun 2002. "Dulu pemerintah pernah mencanangkan petani kacang kedelai, ternyata sampai sekarang nggak sukses, gagal terus," katanya. "Pernah dulu waktu kacang kedelai berharga Rp 500-an sekilo, pernah nyuruh petani menanam kacang kedelai. Itu nggak bisa. Sampai sekarang, mana? Nggak ada! Nggak ada wujudnya!"
Pria berusia 45 tahun ini menuturkan, pengusaha tempe kurang suka menggunakan kedelai lokal. Selain sulit mendapatkannya, kedelai lokal butirannya lebih kecil. Kedelai kecil tidak menguntungkan produsen tempe, juga tidak tahan lama. Tapi ia sekarang mendengar pemerintah menyediakan bibit kedelai unggulan yang butirannya tak kalah besar dari kedelai impor.
Menurut Cahyono, pengusaha tahu dan tempe tidak keberatan menggunakan kedelai lokal. Tentu saja ada syaratnya, kualitas dan harganya sama dengan kedelai impor. "Kalau kacangnya lebih bagus atau harganya lebih murah, kita pasti pilih kedelai lokal," katanya. "Kita harap pemerintah bisa menanam kacang sebanyak-banyaknyalah."
Seperti Keledai
Lonjakan harga kedelai telah diprediksi sejak lama. Menurut Ketua Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, gejolak kacang kedelai bermula pada tahun 1999 saat pemerintah mengeluarkan kebijakan liberalisasi pertanian dengan membebaskan bea masuk. Sebelumnya bea masuk kedelai impor 20 %. Ketika itu yang merasakan langsung dampaknya adalah petani yang tak mampu bersaing harga dengan kedelai impor asal Amerika dan Brasil. Lalu petani Indonesia tak lagi menanam kedelai. Akibatnya, Indonesia menjadi bergantung pada kedelai impor.
Sekarang pengusaha tahu dan tempe juga merasakan akibat dari ketergantungan impor kedelai. Henry menilai keputusan pemerintah menghapuskan bea masuk kedelai bukan solusi cerdas. "Tahun 1999 sudah dilakukan, sekarang dilakukan, diulang lagi," katanya. "Kala orang masuk ke lubang yang sama, itu kan apa namanya? Jangan-jangan mereka ini sudah seperti keledai!" (E2)
Foto-foto: VHRmedia.com/Dian Ali Rahman
Naskah ini pernah dipublikasikan di situs Voice of Human Right
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment