Thu, 22 Jun 2006 15:57:34 +0700
Sidoarjo.- Hari itu Tri Utami hanya terpaku memandangi rumahnya yang terendam lumpur panas. Ibu muda yang tinggal di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, ini marah dan kecewa. Ia tidak rela rumah yang ditinggalinya sejak kecil itu disapu lumpur panas.
Lumpur yang mengandung zat beracun hidrogen sulfida itu menyembur dari sumur pengeboran gas PT Lapindo Brantas, perusahaan kongsi Bakrie Group, Medco Energy dan Santos.
Bakrie Group adalah perusahaan milik keluarga Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie. Sedangkan Medco Energy adalah perusahaan milik politikus Arifin Panigoro. Dan Santos adalah perusahaan asal Australia.
Kepada VHR, Tri Utami hanya bisa menyampaikan kekesalannya atas ulah PT Lapindo Brantas. “Nggak bertanggung jawab! Kalau gitu, kan dia dah cuci tangan! Toh kesalahan juga dari dia, lho ya! Makanya, ndak tahu gimana solusinya? Warga ndak dikasih tahu. Mereka kan kalau tahu ada gitu, gimana antisipasinya buat warga? Apa disuruh ngungsi, apa gimana? Kan nggak ada! Dah cuci tangan!”
Kini, hampir seratus hektar sawah dan ribuan rumah penduduk Desa Renokenongo, Siring, dan Jatirejo menjadi lautan lumpur beracun. Choir, penduduk Desa Siring, memberikan kesaksian, para karyawan perusahaan pengeboran gas itu tinggal di sebuah rumah kontrakan di Siring, tak jauh dari lokasi pengeboran.
Empat hari sebelum lumpur panas meluap, para karyawan itu diam-diam mengemasi barang-barang mereka dan meninggalkan desa itu. Mereka tidak memberi tahu warga agar bersiap-siap mengungsi dan menyelamatkan hartanya.
Ternyata peralatan milik PT Lapindo sudah dipindahkan dari lokasi pengeboran sebelum lumpur itu meluap. “Kontraktor yang ngebor itu semua kontraknya di sini. Langsung meleduk itu. Langsung ndak ada orangnya. Dua hari dah nggak ada. Katanya, dah habis kontraknya. Lho kok... sudah pergi ke Jakarta. Dah habis kontraknya. Lha gimana Pak? Ya ndak tahu. Alat-alat dah diangkat dua hari, tiga hari, empat hari dah habis.” kata Choir.
Kesaksian Choir itu diperkuat oleh Surti, warga yang kini mengungsi di Pasar Porong Baru. Menurut perempuan setengah baya ini, para pekerja perusahaan milik adik kandung Aburizal Bakrie itu menghilang setelah penduduk berunjuk rasa meminta agar semburan lumpur panas ditutup.”Pegawai Lapindo tok yang tahu. Kemas-kemas dua hari. Dua hari itu orang desa kan demo ke sana, minta ditutup. Jangan sampai ke desa. Malamnya, pegawai Lapindo boyongan semua. Pada ngeringkesin alatnya dewe-dewe! Pada minggat kabeh!” kisahnya.
Kenyataan itu membuat Wondo, juga warga yang lain, geram. Dia menuduh PT Lapindo pengecut karena tidak bertanggung jawab di depan rakyat. “Ini kan sudah perang rakyat dengan lumpur, tapi musuhnya ini pengecut! Sudah tahu dia yang ulah, kenapa dia menghindar?” kutuknya.
Manajer Sumber Daya Manusia PT Lapindo Brantas Sabastian Ja’far menyangkal bahwa para karyawannya melarikan diri. Menurut dia, pihak perusahaan tetap bertangung jawab atas kejadian itu dan terus berupaya menghentikan banjir lumpur panas. PT Lapindo Brantas telah mengerahkan traktor-traktor untuk menangani masalah itu.
Namun Sabastian mencoba mengelak. Menurut dia, bencana itu bukanlah kesalahan perusahaannya, karena lumpur itu datang dari perut bumi. Yang dilakukan PT Lapindo saat ini hanyalah menggelar doa bersama. katanya, semburan lumpur panas itu akibat gempa tektonik di Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 27 Mei.
“Memastikan itu bukan hak kita. Perhitungan teknis bisa kita lakukan berdasarkan data-data yang ada. Kapan pastinya, itu bukan hak kita. Ini masalahnya perut bumi, produksi perut bumi nggak ada yang tahu. Kenapa sekarang kita kumpul? Istigosah, berdoa bersama, karena sebetulnya kondisi yang ada itu kalau hati kita satu, niat kita untuk menyelesaikan masalah juga satu, insya-Allah doa itu akan di kabulkan,” katnya.
Tentu saja alasan itu dinilai tidak masuk akal. Menurut ahli geologi Andang Bachtiar, jika semburan lumpur itu terjadi akibat gempa di Yogyakarta, maka dalam waktu beberapa hari semburan lumpur itu akan berhenti dengan sendirinya.
”Kalau ada gempa, itu disebut liquid fection. Itu terjadi beberapa jam saja setelahnya, dan itu di lapisan-lapisan dangkal. Dan akan selesai dalan sehari dua hari. Seperti yang terjadi di Wedi, Batul, dan Pambanan,” jelasnya.
Menanggapi soal dampak lumpur panas itu terhadap warga yang menjadi korban, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari sepertinya mengambil kesimpulan secara gegabah. Dia langsung saja mengatakan bahwa banjir lumpur panas itu tidak berdampak pada kesehatan warga sekitar.
Tetapi pernyataan tersebut bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Menurut pengamatan VHR, warga mengalami gejala sakit kepala, mual, demam tinggi, dan gangguan pernafasan setelah banjir lumpur panas itu menerjang dan menggenangi permukiman warga.
Menurut Kepala Rumah Sakit Bhayangkara di Porong, Hadi Wahyana, sampai hari ke-17 setelah bencana itu terjadi, rumah sakitnya kebanjiran lebih dari 600 pasien yang menderita gangguan kesehatan akibat lumpur panas.
“Rumah sakit kami sudah menangani kasus Lapindo sejak 31 Mei. Sampai sekarang tanggal 17 sudah ada 678 pasien, kumulatif ya. Dari 678 pasien, 617 orang rawat jalan dan 61 orang rawat inap,” jelasnya.Lumpur panas itu kini sudah mencapai lebih dari 5000 meter kubik dan akibatnya hampir tiga ribu warga Desa Renokenongo, Siring, dan Jatirejo kehilangan tempat tinggal.
Lumpur itu juga menenggelamkan pabrik-pabrik di kawasan industri Sidoarjo dan menimbulkan kerugian ekonomi mencapai ratusan miliar rupiah. Bukan hanya itu, kini ribuan buruh menjadi pengganggur akibat pabrik-pabrik tempat kerja mereka terendam lumpur panas. Akankah PT Lapindo terus berbohong dan cuci tangan? [End] (Liza Desylanhi).
Naskah ini dimuat di vhrmedia.net pada 22 Juni 2006
0 comments:
Post a Comment