Cangkul, cangkul, cangkul yang dalamMenanam jagung di kebun kita...
Jemari para siswa SD Pangudi Luhur, Cipete, Jakarta Selatan, lincah memainkan alat-alat musik, mengalunkan lagu "Menanam Jagung". Ada yang menekan tuts pianika, memetik dawai gitar, menabuh jimbe, dan meniup seruling.

Satu lagu belum juga usai, sang guru segera menghentakkan kaki, lalu menepukkan tangan. Ini pertanda musik harus berhenti. Suara fals tiba-tiba mengganggu. Guru itu pun membetulkan. Musik mengalun lagi hingga usai.
Keringat para siswa bercucuran karena panas yang menyengat. Maklum mereka latihan di pelataran sekolah sambil menunggu petugas laboratorium musik yang membawa kunci. Namun bocah-bocah kelas IV sampai VI itu tetap semangat berlatih untuk pertunjukan pesta kenaikan kelas bulan depan. Bahkan, kini mereka belajar membuat komposisi lagu sendiri.
Sang guru, Andre (26), tak kalah semangat. "Tinggal dipoles sedikit lagi akan jadi pertunjukan yang bagus," katanya sambil menyeka butiran keringat di dahi. Para murid pun senang atas pujian itu.
Andre guru istimewa. Saat mengajar ia mengenakan kaos oblong, jins belel yang robek di lutut, dan sandal gunung kegemarannya. Deretan anting perak menghiasi telinganya. Gayanya yang jauh dari formal membuatnya disukai para murid. Hampir semua murid akrab dengan Pak Guru yang satu ini.
"Orangnya sabar. Asyik. Nggak ngebosenin," kata Ivan Afiananda, siswa kelas V. Dulu Ivan pernah les piano, namun berhenti karena bosan. Di tangan Andre, Ivan tertarik kembali memainkan tuts-tuts piano.
Andre hanya lulusan sekolah menengah pertama. Selepas SMP ia menjadi pengamen dan pemulung, mengikuti profesi orang tuanya. Namun kepiawaian Andre memainkan musik membuat sekolah elite seperti Pangudi Luhur mempercayakan pengajaran musik siswanya kepada anak muda ini.
Tak ada bentangan permadani merah bagi Andre menuju profesi guru musik. Lamaran-lamarannya menjadi guru musik selalu ditolak karena ia tak punya ijazah yang memadai. Belum lagi karena penampilannya yang belel. "Sakit hati. Hampir putus asa," ujarnya. "Ternyata susah mendobrak budaya yang sudah kental ini. Mereka menilai seseorang dari luarnya saja."
Andre harus membuktikan kemampuannya agar dipercaya sebagai pengajar. Kesempatan itu didapat dari Wakil Kepala Sekolah SD Pangudi Luhur yang mempercayainya melatih musik ensemble siswa kelas II dengan kaleng bekas. Ia hanya diberi waktu sepuluh hari untuk melatih. Andre menyambut kesempatan itu dengan penuh semangat. "Awalnya kepala sekolah dan orang tua nggak percaya. Tapi bersyukur aku mampu membuat dua komposisi untuk anak-anak SD itu."
Hasilnya, Andre mampu menyajikan musik ensemble kaleng bekas yang apik pada pesta akhir tahun.
Kepiawaian Andre memainkan komposisi musik klasik bukan datang dari langit. Sejak 2001 dia digodok di Sanggar Akar oleh Arjuna Hutagalung, profesor musik dari Institut Kesenian Jakarta. Sanggar itu memang didirikan untuk anak-anak jalanan.
"Dulu main gitar cuma genjreng-genjreng. Nggak ngerti ritme, nada, apalagi bikin komposisi musik," kata pria beralis tebal ini. Berkat didikan Arjuna, Andre tak hanya mampu memainkan alat musik dengan benar, namun juga membuat komposisi.
Arjuna pengajar yang keras, tegas, dan rajin memberikan pekerjaan rumah. Dia menuntut para siswanya berkomitmen tinggi. Akibatnya, dari 20 murid Sanggar Akar seangkatan Andre, tinggal tujuh orang yang bertahan. "Yang lain berguguran. Nggak kuat," kata Andre sambil tertawa.
Di awal latihan, Arjuna langsung menyodorkan komposisi Johann Sabastian Bach. Melihat partitur not balok karya itu Andre pusing. "Materinya berat. Dari segi teori aku jelek, deh! Tapi kalau praktik, aku cepat. Jangankan musik klasik, musik pop saja aku nggak ngerti. Namun aku harus mainin komposisi Bach. Gimana nggak mumet ini kepala?" kata pemuda berkulit gelap ini.
Andre harus bekerja keras memainkan musik Bach. Pertama, ia belajar membaca partitur. Kemudian belajar ketukan. Setelah lancar, beralih ke nada. Terakhir dia memainkan komposisi dengan gitar. Setelah bisa memainkan dengan gitar, beralih mengenali biola dan piano dengan mempelajari anatominya. Baru perlahan Andre mulai mengeja komposisi Bach dengan dua alat musik itu.
Andre juga mesti mengikuti kelas musik di kediaman Arjuna, dua kali seminggu. Ia tidak boleh membolos dengan alasan apa pun. Latihan dimulai pukul sembilan malam dan berakhir pukul satu dini hari. Tak jarang latihan molor hingga pukul tiga pagi. Setiap hari ia harus meluangkan waktu setengah jam untuk mempelajari komposisi yang diberikan Arjuna.
Sementara dari pagi sampai sore Andre dan teman-temannya harus mengajar para yuniornya di sanggar. Setiap menjelang tidur Andre menyempatkan diri latihan membaca partitur. Namun ia sering ketiduran sambil memeluk partitur.
Keterbatasan alat musik di sanggar teratasi oleh Arjuna yang menghibahkan sebuah piano. Ada pula dermawan yang menyumbang beberapa biola untuk sanggar itu.
Mesti keras, Arjuna pengajar yang menyenangkan. Ia pandai menghibur para muridnya. "Kelas selalu diawali dengan makan malam dan diakhiri minum bir," kata Andre.
Karena sering minum bir bareng, para murid pun kian akrab dengan Arjuna. Bahkan mereka mengganggap kakek gondrong penggemar kaos oblong merek Swan itu sebagai ayah sendiri.
Kerja keras memang makanan Andre sejak belia. Ia dulu membiayai sendiri sekolahnya dengan menjadi pemulung dan pengamen. Tak jarang ia ditodong dan diperas anak jalanan lain. " Hukum rimba berlaku di sana. Siapa kuat dia berkuasa," katanya sambil menerawang. "Kalau diingat-ingat sedih juga, sampai segitunya nyari duit. Susah banget."
Di sekolah dulu Andre tergolong berprestasi. Setiap penerimaan rapor ia selalu menjadi juara kelas. Namun ia kapok sekolah setelah disiksa oleh guru Fisika, karena tak sengaja melempar bola basket ke guru itu. Akibat siksaan itu Andre tak bisa makan seminggu. "Sampai kapan pun pengalaman itu nggak akan pernah kulupa. Aku benci sekolah formal!" ujarnya dengan suara parau. Dia pun tak melanjutkan ke sekolah menengah umum.
Saat di kelas II SMP Andre mulai kenal Sanggar Akar. Saat itu ia diajak temannya mengikuti kemah Kampung Orang Kere (Kampore) yang digelar sanggar tersebut. Sejak itu Andre bergabung dan menjadi "anak" Sanggar Akar. Bersama sanggar itu motivasi belajarnya kembali bangkit. "Kalau nggak sekolah formal, harus punya skill untuk hidup. Makanya belajar musik di sini. Walaupun apa adanya, aku mencoba serius."

Berkat ketekunan dan kerja keras itu kepiwaian Andre terus terasah. Sampai suatu ketika komposisinya dimainkan pada sebuah konser di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. "Di situ aku merasa hidup itu dihargai. Karena belajar dengan susah payah, aku akhirnya bisa membuat karya yang dapat dinikmati orang."
Kebanggaan Andre bertambah saat anak asuhnya di SD Pangudi Luhur menjadi juara II Pentas Musik Sekolah Dasar se-Jabotabek Desember tahun lalu. Karena prestasi itu status Andre sebagai guru honorer akan dinaikkan menjadi guru tetap.
Wakil Kepala SD Pangudi Luhur I Nengah Suntaya pun memberikan lampu hijau untuk Andre. Ia melihat keahlian Andre lebih bernilai daripada selembar ijazah. "Kami tidak melihat dari segi ijazah. Kalau ijazah saja kan bisa beli," katanya. "Saya nilai dia cukup kreatif. Mampu mengaransemen lagu dan dapat mendekati anak-anak."
Selain mengajar di SD Pangudi Luhur, Andre juga mengajar paduan suara Gereja Santo Yohanes di Sunter, Jakarta Pusat, dan menjadi guru les privat. Beberapa tawaran mengajar ia tolak karena tak mau menelantarkan para yuniornya di Sanggar Akar.
"Ini meyakinkan aku bahwa ijazah tak penting. Juga meyakinkan bahwa orang-orang seperti aku juga mampu berkarya," katanya menutup pembicaraan. Andre membakar rokok kretek dan mengisapnya pelan-pelan. Dikepulkannya asap ke udara, membentuk sebuah komposisi musik di kepalanya. (E2) Foto: VHR/Liza Desylanhi.

0 comments:

Newer Post Older Post Home