Walau tertatih, pria ini mampu bangkit dari kungkungan autis. Kini ia menjadi penulis.Sekilas Oscar Yura Dompas tak berbeda dari pria lain. Bedanya, jika berbicara, pria yang biasa cas-cis-cus dalam bahasa Inggris ini selalu tegas, formal, dan terstruktur. Terkadang ia hanya mengulang-ngulang suatu kalimat.

Perhatiannya hanya tertuju pada satu objek. Matanya selalu tertuju pada satu hal saja, seolah-olah melihat benda gaib. Oscar mengalami autisme, gejala kejiwaan yang ditandai dengan ketidakpedulian pada orang lain. Orang-orang seperti Oscar selalu kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Mereka hanya asyik dengan diri sendiri. Setelah berjuang keras, Oscar bisa berkomunikasi seperti orang lain. Lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Atmajaya Jakarta ini ingin berbagi dengan masyarakat bagaimana menghadapi orang autis.

Tahun 2005 lalu ia menulis buku An Austistic Journey, mengenai pengalamannya sebagai autis. "Kalau orang yang nggak tahu pendidikan, pasti bilang anak autis itu gila," kata Oscar, 27 tahun. "Orang autis itu punya kelebihan tertentu juga."Sikapnya yang polos dan cuek membuat pria berbadan gempal ini menjadi sasaran keisengan teman-temannya. Pengagum tokoh Bart dalam film The Simpsons ini bahkan pernah dijerumuskan teman-temannya saat ulangan. "Kalau kamu mau kayak Bart, nilai ulangan kamu harus digugurkan semua, biar dapat nilai jelek," kata teman-temannya. Oscar pun menurut. "Padahal, aku tahu jawabannya," katanya.

Akibatnya prestasi sekolah Oscar jeblok. Peringkatnya terjun bebas dari 6 ke 33.Layaknya penyandang autis lain, pria yang tinggal di Rempoa, Jakarta Selatan, ini punya energi besar. Untuk menyalurkan energi berlebihnya itu, keluarganya menyodori Oscar seabrek kegiatan sepanjang hari. Ada pelajaran tambahan, les renang, taekwondo, tenis meja, dan bola basket.

Memasuki sekolah menengah pertama, sulung dari tiga bersaudara ini belum juga bisa bergaul. Ia tetap menjadi sasaran ejekan teman-temannya. Namun, Oscar mulai jatuh cinta pada seorang gadis teman sekelas. Gejolak asmara di dada mendorong Oscar memberanikan diri menyampaikan cintanya saat study tour ke Yogyakarta menjelang kelulusan SMP Tarakanita Jakarta. "Jawabnya, nggak papa, dech. Kita boleh coba," tutur Oscar.

Tapi hubungan asmara itu hanya berlangsung sebulan.Pria berdarah campuran Manado-Banten ini melanjutkan studi di SMU Pangudiluhur 1, Jakarta Selatan. Ternyata lingkungan baru tak bersahabat. Oscar semakin sering jadi bahan ejekan. "Saya dibilang mormon," katanya. "Sakit hati, tapi nggak bisa marah." Bahkan, para guru juga sering memukuli Oscar.

Penggemar sejarah ini mengaku kesulitan menyerap pelajaran geografi dan kesenian di SMU. "Nggak bisa gambar, nggak bisa not balok," katanya. Oscar pun tak naik kelas. Akhirnya Oscar dikirim sekolah ke Australia. Di Negeri Kangguru itu Oscar tinggal dengan induk semang yang mendukungnya untuk belajar mandiri. Tapi bukan berarti sekolahnya lancar. Teman-teman sesama asal Indonesia suka memanfaatkan Oscar. Mereka suka meminjam uang dan tak mengembalikan.

Mereka gunakan uang itu untuk bisnis obat terlarang. Oscar pun mulai kenal dan mengonsumsi ganja dan heroin. Karena orang tuanya tahu, mereka memanggil pria berkulit gelap ini pulang. Tapi Oscar akhirnya balik ke Australia untuk melanjutkan sekolah. Lulus SMU Oscar melanjutkan ke Williams Business College di utara Sidney. Karena depresi, dia hanya bertahan tiga bulan. "Karena dapat orang tua asuh yang perfeksionis," katanya. Sepulang dari Autralia, Oscar menjadi pribadi yang sensitif dan temperamental. Ia suka marah-marah. Namun dia berjuang keras mengatasi masalah itu.

Secara perlahan akhirnya ia berhasil mengendalikan emosinya. Pada tahun 200 Oscar melanjutkan ke Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia pun berhasil menamatkan studi di kampus ini.Kini Oscar sedang menulis buku kedua. Ia juga ingin menjadi jurnalis. Akhir April lalu ia terbang ke Singapura untuk mencari pekerjaan. Sebelumnya ia belajar menjadi penyiar radio di Jakarta. "Asyik, suasananya nggak formal," ujarnya. Orang tua Oscar, Jeffrey dan Ira Dompas, semula tak menyadari anak sulung mereka mengalami autis. Mereka baru menyadari saat Oscar berusia tiga tahun. Setiap orang tuanya pulang kantor, Oscar kecil tak pernah menyambut, tidak seperti adiknya, Nikita. "Saat saya samperin ke kamarnya, dia lagi asyik main sendiri," kata Ira.

Selain itu, Oscar juga bergerak terus. Sampai dini hari pun Oscar balita tak bisa tidur. Jefry dan Ira berkonsultasi pada ahli kejiwaan. Ahli itu menganjurkan agar memberikan obat penenang, tapi Ira menolak. "Anak kecil kok dimasukin obat-obatan," katanya. Ira pun beralih ke dokter lain. Dokter itu menyarankan agar Oscar diberi sayur kangkung sebagai pengganti obat tidur. Aktivitasnya di siang hari juga ditambah agar malamnya tidur nyenyak. Jefry melatih kosentrasi Oscar dengan cara menyalakan lilin di ruang gelap berdua. "Saya hadapkan Oscar untuk melihat lilin pertama. Dia bosan, kasih lilin kedua.

Dia bosan juga, kasih lilin pertama lagi," kata pengusaha pelayaran ini. "Itu saya lakukan konsisten." Ira yang waktu itu bekerja sebagai sekretaris terpaksa meninggalkan pekerjaannya untuk mengurus Oscar. Jefry yang saat itu masih kuliah harus meninggalkan bangku kuliahnya.

"Kini kami mencarikan pekerjaan yang tepat untuk Oscar," kata Ira yang sekarang menjadi praktisi hukum.Beruntunglah Oscar mempunyai orang tua yang mengerti, sabar, dan telaten membimbing anaknya yang menyandang autis. Bocah-bocah penyandang autis lainnya mungkin bernasib lain. Bahkan, dulu orang-orang autis dianggap kerasukan roh atau makhluk gaib, sehingga sering dipasung keluarganya. Pandangan seperti itu masih kuat di masyarakat yang kurang pendidikan. Menurut pendiri Yayasan Autis Indonesia, Dyah Puspita, autisme bukanlah penyakit, sehingga tak perlu dicari obatnya. Perhatian orang tua merupakan kunci untuk mengatasi autisme. "Mereka berpikir nggak apa-apa, sampai akhirnya terlambat," kata Dyah. "Saya minta orang tua belajar mengenali kondisi anaknya." (E2)

Naskah ini dipublikasikan di VHRonline

0 comments:

Newer Post Older Post Home