“WIS. Pokoknya lebih enak sekarang daripada dulu! Enak sekarang daripada dulu! Pokoknya saya itu kalau kurang (modal), ngambil biaya dari pabrik dikasih untuk kerja berapa hektare. Pokoknya enak sekarang daripada dulu!” Mulyo (50), petani tebu itu bersemangat menceritakan kisah suksesnya.

Hidup petani tebu seperti Mulyo tampaknya makin membaik. Penduduk Desa Rejo Agung, Semboro, Kabupaten Jember, Jawa Timur, ini telah menjadi petani tebu lebih dari 40 tahun. Menurut dia, nasib petani tebu selama tiga tahun ini semakin manis saja seperti gula. Padahal, dulu nasib petani tebu tak semanis tanamannya.

Dulu, tebu rakyat pernah mengalami masa kejayaan. Namun, akhirnya jatuh setelah dikelola oleh koperasi unit desa. Banyak petani yang kapok menanam tebu. Sebab, selama dikelola oleh KUD, harga tebu naik turun, tidak pasti. Para petani pun mengincar komoditas lain seperti jeruk, padi, ataupun jagung. Akibatnya, kebutuhan bahan baku pabrik gula di Semboro tak terpenuhi dan produksi gula pun merosot.

Kini tebu rakyat bangkit lagi. Tengoklah sawah-sawah di Rejo Agung! Sepanjang mata memandang, yang tampak adalah rumpun tebu subur yang menghijaukan sawah-sawah di sana. Sebagian perkebunan tebu saat ini sedang dipanen, sebagian lagi sudah ditanami kembali.

Pabrik Gula Semboro adalah satu di antara ribuan pabrik gula warisan penjajah Belanda yang masih tersisa di Jawa. Jika kita mendekati pabrik gula ini, aroma harum gula tercium di mana-mana. Setiap hari pabrik tua yang mempekerjakan ratusan buruh ini menghasilkan gula 3.000 hingga 3.500 kuintal.

Menurut Parman, sinder kebun tebu setempat, kenaikan harga gula di pasaran membuat petani tebu semakin sejahtara selama tiga tahun terakhir ini. Para petani kini kembali menanam tebu. Bahkan, tidak sedikit petani yang menyewa sawah untuk ditanami tebu.

“Sebelumnya, tahun 2001 itu, di luar harapan. Harganya minus, pas-pas, untuk petani dengan biaya yang digunakan dengan hasil penjualan. Gak gairahlah petani tanam tebu. Dengan adanya harga ini, petani lomba-lomba cari sewa,” kata Parman.

Produktivitas perkebunan tebu di Jember meningkat tajam setelah ditemukan bibit unggul Bulu Lawang, sering disingkat BL. Bibit tebu BL menghasilkan gula lebih banyak dibanding varietas tebu sebelumnya.Selain itu, pengelolaan perkebunan tebu kini ditangani oleh Koperasi Tebu Rakyat, bukan lagi KUD. Pabrik Gula Semboro mampu menjalin kerja sama yang baik dengan koperasi tebu rakyat.

Harga tebu dari petani kini ditentukan melalui proses lelang, yang dikelola oleh koperasi, asosiasi petani, dan pabrik gula. Tahun ini harga tebu melalui proses lelang disepakati Rp 4.800 per kilogram. Jika tim lelang berhasil menjual di atas harga yang disepakati, maka petani tetap akan mendapat bagian 25% dari selisih harga tersebut.

“Harga talangan. Sebelum harga itu pasti dibeli berapa, petani dapat harga talangan. Kelebihnnya nanti dibagi setelah panen total seluruh Semboro. Umpamanya harga jualnya Rp 5.300 dikurangi Rp 4.800, kan sisanya Rp 500. Nah, petani dapat berapa persennya gitu, sekitar 25%,” tambahnya.

Parman menyebutkan, untuk satu hektare lahan tebu, setiap petani harus menyediakan modal sekitar Rp 4 juta untuk pembelian bibit dan pengolahan lahan, belum termasuk harga pupuk bersubsidi. Namun koperasi memberikan pinjaman lunak yang disebut cost over latting atau uang tunggu sebelum panen yang ditetapkan Rp 750.000 per hektare.

Hasil perkebunan tebu sekarang pun lumayan. Kata Parman, setiap hektare kebun tebu mendatangkan keuntungan Rp 8 hingga Rp 10 juta.

“Kalau di sawah itu, bisa Rp 10 juta per hektare, untuk petani sendiri setelah dipotong pinjaman. Menyewa ke petani itu Rp 8 juta per hektare untuk satu masa tanam,” kata Parman lagi.

Besarnya keuntungan menanam tebu membuat tebu menjadi komoditas primadona Jawa Timur, selain tembakau.Agus Budi merupakan salah seorang yang tergiur untuk menanam tebu. Ia segera bergabung dengan koperasi untuk memasarkan hasil tanamannya. Sebelumnya, pria berkumis lebat ini memilih memasarkan sendiri hasil panennya. Dengan menjadi anggota koperasi, kini Agus juga mendapat kredit permodalan dan petunjuk menanam tebu yang baik agar hasilnya lebih optimal.

“Petani rakyat karena itu kerja sama antara petani dengan pabrik gula. Ya jelas menguntungkan. Banyak hasil dari pabrik gula. Kita dapatkan, nuwun sewu ya di sana itu banyak kaya yang karena tebu,” kata Agus Budi.

Budi pun potimistis kelak petani tebu tak bernasib pahit lagi. Kini dia menyandarkan harapan pada komoditas satu ini.“Saya kira menjamin, karena sepertinya pemerintah sekarang rupa-rupanya sudah perhatikan petani tebu. Kalau dulu kan nggak. Ya alhamdulillah...” tambahnya.

Kualitas tananam tebu Jawa Timur diakui sebagai yang terbaik di dunia. Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, Arum Sabile, masalahnya kadar gula dalam tebu produksi Jawa Timur masih rendah. Masalah lainnya, peralatan pabrik gula Indonesia masih sangat tua. Hanya sekitar 25% peralatan Pabrik Gula Semboro yang tergolong baru, sisanya adalah peninggalan Belanda.

“Segera lakukan perubahan radikal oleh pemerintah. Revitalisasi pabrik secara ekstrem. Saya berharap SBY berani membalik arus dan gelombang sejarah. Karena kalau dilakukan revitalsasi pabrik gula, kalau pemerintah mau keluar uang, saya punya keyakinan pemerintah tidak akan rugi, bahkan bisa dijadikan ‘mesin pencetak uang’,” kata Arum Sabile yakin.

Untuk menjamin stabilitas harga tebu, perlu pembangunan pabrik gula yang terintegrasi dengan produksi etanol, salah satu jenis alkohol. Kata Arum, jika harga gula di pasar dunia anjlok, maka pabrik gula bisa memproduksi etanol sehingga harga tebu tidak merosot. Pabrik terintegrasi seperti ini sudah dilakukan di Brazil, di mana pabrik gula juga memproduksi etanol. Di Brazil etanol merupakan bahan bakar kendaraan bermotor sebagai alternatif bahan bakar fosil.

Masalahnya, kata Arum, adalah permodalan. Sebab, untuk mendirikan pabrik gula terintegrasi membutuhkan dana tidak sedikit. Dia menghitung, untuk mendirikan pabrik di atas tanah seluas 20 hektare dengan teknologi lokal membutuhkan dana Rp 12 triliun.

Arum juga menghitung, keuntungan dari investasi sebesar itu juga tidak kecil. Pabrik tersebut bisa menyerap 10 ribu hingga 15 ribu tenaga kerja. Selain itu, swasembada gula bisa dicapai pada tahun 2007. Ssaat ini Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan gula dalam negeri. Pada tahun 2005 hanya mampu memproduksi 2,3 juta ton guna memenuhi kebutuhan 2,4 juta ton gula nasional.

“Dari produksi tebu yang 31 juta ton, sebenarnya bisa dipacu lagi produksi gula dengan peningkatan rendemen (kadar gula dalam tebu). Kalau diupayakan naik 1% saja, maka akan ada tambahan gula 310 ribu ton untuk tahun ini, tahun 2007 2,6 juta ton. Kalau dikawal benar, maka tahun 2007 nggak perlu impor!” tambahnya.

Ternyata di tengah kisah manis petani tebu tersisip juga kisah pahit. Rupi’ah misalnya. Ia mengaku para petani di sana kesulitan mendapatkan pupuk selama setahun terakhir ini. Tanpa pupuk dan irigasi yang baik, tanaman tebu tidak akan tumbuh dengan baik. Karenanya, Rupi’ah mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyelesaikan masalah kelangkaan pupuk.

“Karena tebu nggak akan hidup kala pupuk nggak ada dan air kurang memadai. Nggak tahu pupuknya ke mana! Nggak hanya petani tebu, petani yang lain juga. Ada uangnya, mau beli saja repot. Sampai antre seperti antre beras. Yang sebenarnya, di bawah apa karena produksi, investor apa di tangan buto ijo? Tolong, Bapak, saya minta dengan hormat bagaimana kebijaksanaan Bapak supaya petani tebu bisa terima pupuk sesuai harapan. Sudah ditanam dua bulan, pupuknya belum ada. Anjuran Menteri Perkebunan: sambil nabur sambil memupuk. Nek pupuknya ndak ada, pakai apa, Pak? Ini suka duka petani tebu!” kata Rupi’ah dalam pertemuan dengan Presiden Yudhoyono.

Sayangnya, SBY tidak bisa menjamin ketersediaan pupuk bagi petani tebu. Katanya, produksi pupuk nasional merosot gara-gara produksi gas menurun. Padahal, gas alam adalah salah satu bahan baku pupuk urea.

“Nah, menunggu sampai cukupnya gas itu, kita akan impor dari Ukraina. Secara nasional memang ada persoalan dalam gas kita yang mempengaruhi ketersediaan pupuk. Tetapi saya sudah bicara ke Menteri Pertanian, untuk Jawa Timur tahun depan harus ditambah. Dengan demikian, harapan kita yang ditunggu-tunggu bisa dibantu secukupnya. Kalaupun tidak bisa sekaligus, tapi bisa bertahap, agar tidak terlalu jauh antara kebutuhan dan ketersediaan,” jawab Presiden dalam pertemuan itu.

Sudah berabad-abad perkebunan tebu dan pabrik gula di Jawa menjadi sektor ekonomi yang menguntungkan. Gula hasil produksi Jawa pada masa kolonial Belanda pernah mendominasi pasaran gula dunia. Tapi, sejak Indonesia merdeka, produksi gula terus menurun... dan akhirnya Indonesia menjadi pengimpor gula. Akankah para petani Semboro mampu membangkitkan “Gula Jawa”? [END]. Liza Desylanhi

Tulisan ini dipublikasikan di vhr media .com pada 12 Oktobert 2006

0 comments:

Newer Post Older Post Home