Anak-anak pinggiran menyuarakan nasib buruh anak Indonesia melalui film dokumenter. Awal Juli lalu film itu diputar pada Festival Anak Pinggiran.

"KAK, sepatumu itu deritaku!" kata bocah itu sambil menunjuk sepasang sepatu yang dipakai reporter VHRmedia.com. Khoerudin melontarkan kalimat itu antara canda dan serius. Yang jelas, bocah berkulit putih ini anggota tim pembuat film dokumenter Sepatumu adalah Deritaku. Film mereka diputar pada Festival Budaya dan Temu Rasa Anak Pinggiran di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, 13 Juli lalu.

Bersama kawan-kawan sebaya, Santosa, Sanny, Benny, dan Dede, Khoerudin (13) memproduksi film Sepatumu adalah Deritaku. Film berdurasi 11 menit itu memaparkan kisah buruh anak di pabrik sepatu di Bogor yang diperas majikan.

Film dibuka suasana alam pedesaan hijau di Jawa Barat. Alunan seruling lagu Sunda menambah ketenangan dan kedamaian suasana. Sebentar kemudian penonton dihentak dengan ironi: penderitaan buruh anak di balik kesejukan Bogor. Anak-anak kehilangan masa kecil mereka karena terpaksa menjadi buruh di pabrik sepatu. Mereka meninggalkan bangku sekolah dan bekerja di bengkel-bengkel pembuatan sepatu.

Santosa, sang sutradara, mengatkan film ini bermaksud memberi pesan untuk mengakhiri prkatik buruh anak. Mereka sengaja memilih judul tersebut untuk menyadarkan bahwa di balik keindahan sepasang sepatu tersimpan penderitaan buruh anak. "Banyak orang di sekitar kita ‘hanya' pakai sepatu. Padahal yang membuat sepatu itu anak-anak putus sekolah.

Mereka bekerja dari pagi sampai malam hingga kurang tidur," ujarnya. Tim pembuat film itu tidak belajar khusus untuk membuat film dokumenter. Mereka belajar hanya dua hari dari pendamping yang sebelumnya mengikuti workshop pembuatan film di Sanggar Anak Ciliwung Merdeka.

Kerja keras mereka membuat film dokumenter di sela-sela waktu ujian akhir SD tidak sia-sia. Padahal, proyek pembuatan film mereka hampir batal, karena tenggat waktu yang diberikan panitia festival sudah mepet, sementara film mereka belum rampung. "Sempat deg-degan, jadi nggak... jadi nggak. Sempat putus asa," kata Santosa. Namun pendamping mereka, Andi Sutedja dan Tera, terus memompa semangat bocah-bocah itu.

Menurut Santosa, banyak cerita seru selama membuat film yang mereka garap kurang dari dua minggu itu. Mereka harus pandai mengatur jadwal penggunaan handycam. Panitia hanya menyediakan sebuah kamera video digital. Jadi, penggunaannya harus diatur dengan baik agar tidak bentrok antartim.

Produksi film bukan pekerjaan enteng, apalagi bagi Santosa dan Khoerudin selaku sutradara. “Lumayan sulit. Pusingnya, karena orangnya banyak, susah diatur. Ada yang pulang dulu, terus ketinggalan, kan jadi nggak lengkap,” ujar Santosa. Akhirnya, dengan kesepakatan bersama, Santosa memberlakukan denda pada setiap kru yang mangkir. “Bolos sehari didenda seribu rupiah.” Tidak hanya itu, tak jarang mereka berdebat sengit.

Biasanya perdebatan terjadi antara sutradara dan juru kamera. “Kata sutradara ambil gambar di sini, eh saya ke situ, nggak kompak,” ujar Sanny, sang juru kamera. “Kadang-kadang bertengkar, karena kecapean, terus pusing,” tambah Santosa. Tak jarang gambar yang diambil Sanny tidak sebagus yang diharapkan. Maklum ini kali pertama dia memegang kamera. “Agak susah. Grogi gitu. Yang diambil takut goyang,” katanya. Kalau sudah begini, mereka memilih beristirahat dulu. Setelah tenang, baru kemudian dilanjutkan. Tidak mudah bagi mereka untuk mendapat izin mengambil gambar di bengkel sepatu. “Ada juga pemilik bengkel sandal yang tidak mau diambil gambarnya. Takut, katanya. Kalau nggak kenal mah rada susah,”ujar Sanny.

Ternyata bukan cuma pemilik bengkel sepatu yang sulit diwawancarai. Pei, teman mereka yang menjadi tokoh utama dalam film ini, juga membuat Santosa dan tim kelabakan. “Dia yang paling susah. Saya sudah mau angkat tangan. Padahal, dia itu narasumber terakhir yang diwawancarai,”ujar Santosa sambil garuk-garuk kepala. “Semuanya jadi stres. Ditanya diam saja, jawabnya cuma ‘iya’ –‘nggak’,” tutur Sanny. Rupanya Pei grogi bicara di depan kamera. Setelah berlatih berkali-kali, akhirnya bocah itu bisa juga berbicara di depan kamera. Bukan cuma Pei yang grogi menghadapi kamera. Khoerudin yang juga narator grogi saat berhadapan dengan mikrofon. Terkadang suaranya menghilang. Setelah latihan berulang-ulang, bisa juga suara renyahnya terdengar lancar.

Pada tahap akhir, editing gambar sesuai alur cerita, mereka dibantu Andi Sutedja. “Tapi gambar yang harus masuk, mereka sendiri yang menentukan. Jadi, ada sekian puluh frame, itu kami putar satu-satu pake proyektor LCD (liquid crystal display),” kata Andi. Hasilnya, bocah-bocah itu melahirkan film dokumenter berdurasi pendek yang asyik ditonton. Film itu diputar pada Festival Budaya Anak Pinggiran bersama film buatan anak-anak lain, seperti Kisah Sepasang Sandal Uwa Empad; Ibuku; dan Dibunuh karena Miskin.

Film Kisah Sepasang Sandal Uwa Empad juga bercerita tentang buruh anak di pabrik sepatu. Tokoh utama film ini seorang buruh yang masih duduk di bangku kelas VI madrasah ibtidaiyah (setara sekolah dasar). Asna Sakinah, 12 tahun, berperan sebagai sutradara dibantu enam kawannya.

Dibunuh karena Miskin yang berdurasi 18 menit 45 detik mengisahkan nasib tragis Irvan Maulana, joki kawasan three in one yang disiksa sampai mati oleh Satuan Polisi Pamong Praja Jakarta awal tahun 2007. Film ini disutradarai Dani, 15 tahun. Pada hari pertama pemutaran film dokumenter Festival Budaya dan Temu Rasa Anak Pinggiran Merdeka se-Jabodetabek, Dibunuh karena Miskin garapan Dani dan kawan-kawan dari Jakarta Child Street Center menyita perhatian dan simpati banyak penonton. Menurut Heru, seorang pendamping, film ini menyisipkan foto-foto yang sempat didokumentasikan saat penganiayaan yang menewaskan joki Irvan Maulana terjadi. Di antaranya foto wajah Irvan yang babak-belur setelah dihajar Satpol PP. (E2)

Naskah ini dipublikasikan disitus VHRonline

0 comments:

Newer Post Older Post Home