Pelayaran rakyat kini merana. Razia di laut makin intensif. Order angkut kayu ilegal menurun.

Siang itu matahari bersinar sangat terik. Sinarnya memantul di air, membiaskan warna keperakan dan membuat silau. Debu-debu beterbangan dihempas roda-roda truk yang lalu-lalang menghampiri deretan perahu yang sedang membuang sauh di Pelabuhan Sunda Kelapa, pelabuhan tertua di Jakarta.

Tak banyak aktivitas yang terlihat di pelabuhan pelayaran antarpulau ini, meski puluhan perahu kayu beraneka warna berderet menyandar. Hanya ada beberapa kapal yang sedang memuat ratusan sak semen, kain, dan bahan makanan. Dua kapal sedang membongkar muatannya. Tumpukan ribuan potong kayu menggunung di sisi pelabuhan tak jauh dari kapal. Puluhan buruh angkut pelabuhan sibuk hilir-mudik memindahkan kayu yang baru turun dari kapal ke empat truk yang menunggu.

Bosan berada di dalam kapal yang tengah bongkar muatan, Akas, juru mudi KM Merpati yang sedang membongkar muatan kayu, turun dari kapal dengan meniti sebilah papan yang diletakkan miring 45 derajat. Begitu menginjak tanah, ia segera menghampiri penjual rokok dan makanan tak jauh dari tempat kapalnya bersandar. Sambil menghisap rokok Dji Sam soe, Akas bercerita, ini hari kelima kapalnya bersandar untuk bongkar muatan, setelah berlayar 3 hari 4 malam dari Pontianak, Kalimantan Barat. Biasanya dibutuhkan waktu sampai satu minggu untuk bongkar muatan 700 kubik kayu. "Soalnya berat-berat kayunya," ujar pria tegap asal Majalengka ini.

Menurut Akas, kayu yang dibawa dari Pelabuhan Pontianak jenis meranti bukit dan kapur, semuanya sesuai dengan dokumen. Hari itu dia bernafas lega, karena pundi-pundinya terisi penuh. Untuk sekali jalan membawa kayu, ia dapat mengantongi uang minimal Rp 2,3 juta. Lumayan, pemuda berusia 24 tahun ini jadi bisa pulang kampung. "Ini dah sembilan bulan nggak pulang. Abis muat kayu bisa pulang," katanya.

Akas beruntung, kapalnya kali ini mengangkut kayu. Biasanya paling ia mengangkut pupuk atau bungkil kelapa sawit, yang upahnya tak seberapa. "Dapetnya 500 ribu. Bawa kayu hasinya dua kali lipet dari bungkil atau pupuk."

Akas dan anak buah kapal lainnya lebih suka mengangkut kayu. Selain upahnya lebih besar, risiko kerusakan pun kecil. Bila mengangkut pupuk, bungkil kelapa sawit, semen atau yang biasa disebut kelontongan, upahnya kecil dan awak kapal harus membayar ganti rugi jika muatan terkena air. "Kalau muat kelontongan, basah, diklaim, nggak bisa dapet uang. Paling bagus bawa kayu." Tapi sayang, kata Akas, sudah dua tahun belakangan ini muatan kayu sangat langka. Dalam setahun ini saja KM Merpati yang dikemudikannya baru enam kali mengangkut kayu.

Padahal, dulu kapal yang biasa berlayar dari Kalimantan ke Jawa dan Sumatera ini selalu mengangkut kayu. "Dulunya kayu, sekarang kan ada tim polisi gabungan. Jadi, nggak bisa muat kayu lagi," katanya. Dulu kayu yang dimuat selalu lebih banyak dari yang tertera di dokumen. "Ada yang muatnya segini, terus surat jalannya sedikit gitu, asal sah,"ujarnya. Biasanya kayu yang paling banyak ilegal adalah jenis meranti, ulin, kruing, benuas, dan kompas. Dan biasanya pemeriksaan dilakukan di pelabuhan. "Kalau di laut mah nggak ada orang, cuma nelayan aja."

Angkut Kayu Illegal

Mesipun tahu sedikit praktik nakal itu, Akas mengaku tak pernah membawa kayu ilegal. "Nggak mau, kaptennya juga nggak mau kalau ilegal. Ngapain? Uangnya juga nggak halal," katanya. Pasalnya pemeriksaan cukup ketat, jadi Akas dan ABK lainnya tak perlu khawatir "Diliat-liat aja, cukup dokumen, ‚oh bener nggak ilegal." Saking hati-hatinya, perjalanan kayu muatan kapal Akas pun dikawal polisi. "Di Kalimantan kan ada pemeriksaan polisi gabungan. Ada yang kasih tahu, ini juga kan polisi yang ngawal, dari gudang sampai ke muara. Supaya ngga ada yang ambil."

Semakin berkurangnya muatan kayu, otomatis setiap kapal bersaing ketat berebut muatan. "Soalnya kan antre di sana, kapalnya kan banyak," ujar pria lulusan SMA ini. Sering kali KM Merpati kembali ke Pontianak tanpa membawa muatan.


Berbeda dari Akas, Anwar Masradin, juru mudi KM Daeng Patanga, mengaku pernah mengemudi kapal yang mengangkut kayu tak berdokumen. Ketika itu Anwar membawa KM Bintang Metropolitan Jakarta. Tak terhitung ia telah membawa ribuan kubik kayu ilegal dari Sampit ke Jakarta. Bisanya ia membawa kayu jauh lebih banyak dibandingkan yang tertera di dokumen perjalanan. "Kalau dulu, muat 1.000 kubik di dokumen 300 kubik," katanya.

Berkali-kali membawa kayu ilegal dari Sampit, Anwar dan kapalnya selalu lolos. Ibarat sepandai-pandai tupai melompat, toh sekali waktu jatuh juga. Akhir tahun 1999 Anwar dan KM Bintang Metropolitan Jakarta tertangkap ketika akan memasuki Pelabuhan Sunda Kelapa. "Bawa 700 kubik, dah mau masuk ke pelabuhan terus datang dua polisi. Eh, jangan masuk dulu katanya. Kapal segera dibawa ke Tanjung Priok. Ditahan di sana," tuturnya.

Menyuap Polisi

Namun kapal beserta krunya tak lama ditahan. Hanya dua hari Anwar ditahan di Pelabuhan Tanjung Priok. "Karena bosnya juga bertanggung jawab lebih kuat. Kata bosnya, dua hari aja, dikeluarin kapalnya. Sekali ke sana bawa duit itu satu tas aja, dibawa ke Tanjung Priok. Jam 12 siang lepas kapalnya," ujar pria kelahiran Ujung Pandang ini.

Lolos dari hukum tidak membuat pemilik KM Bintang Metropolitan Jakarta beserta kru kapok. Setelah itu berulang kali Anwar memuat kayu ilegal dari Kalimatan ke Jakarta. Dia juga tak gentar. "Bosnya sih bilang, kalau ketangkep, anak buah saya jangan terlalu takut, masih bisa lepas. Bosnya juga sangat berani. Kalau anak buah masuk penjara, ditarget paling dua hari juga keluar. Tidak dibiarkan," tambahnya.
Selain itu, kata pria berusia 38 tahun ini, kalaupun tertangkap tidak sendiri. "Saya pikir kalau ketangkep kan bukan sedikit orang. Mana mungkin mau dipenjara semua? Kecuali terlalu banyak sekali masalah. Kami tidak memiliki rasa takut. Bodo amatlah. Masuk penjara paling juga tiga - empat hari keluar, kok. Tidak mungkin untuk selamanya."


Anwar dan pemilik kapal termasuk pelaut lihai. Dari sekian kali membawa kayu tak sesuai dokumen, dia tak pernah lagi berurusan dengan kepolisian. "Ya cuma sekali itu. Terus nggak pernah lagi ketangkap, lolos terus," ujar pria yang telah melaut sejak usia 16 tahun ini.

Selain yakin bosnya akan bertanggung jawab jika ia dan kapalnya tertangkap, iming-iming upah besar membuat ayah seorang putri ini nekat membawa kayu tak sesuai dokumen. "Kalau ketangkep ya nggak dapet apa-apa. Tapi kalau selamat, lolos, ya dapet, dalam sekali narik dapet 3,5 juta," akunya. Tak mengherankan banyak pemilik dan awak kapal sejenis yang nekat membawa kayu ilegal.

Namun, sejak dua tahun belakangan ini kondisi berubah 180 derajat. Muatan kayu tak lagi marak akibat pengawasan makin ketat. Muatan sepi juga dialami KM Daeng Patanga yang dikemudikan Anwar. Paling bagus, kapal bercat putih, cokelat, dan hitam ini membawa semen. Sudah hampir setahun ini kapal itu tak lagi mengangkut kayu. "Sudah lama nggak muat kayu lagi. Pokoknya khusus semen aja, ngga ada lain. Itu sudah dua tahunan, dah sepi. Mulai sepi ini sejak Susilo Bambang jadi presiden. Kalau sebelumnya, masih Mega, itu masih bisa," katanya.

Seperti kali ini, Anwar tengah menunggu waktu untuk berlayar memuat 500 kubik semen dengan sewa Rp 20 juta rupiah dari Pelabuhan Sunda Kelapa menuju Pontianak. Sebenarnya sejak minggu lalu semen itu sudah dimuat, namun pemilik KM Daeng Patangga belum membayar upah Anwar dan kelima ABK kapal. Padahal, upah yang akan diterima Anwar hanya Rp 500 ribu untuk kerja dua bulan di laut meninggalkan anak dan istrinya di Pekalongan. Anwar maklum, karena pendapatan kapal jauh menurun karena tak lagi membawa kayu.

Menurut Anwar, trik dokumen yang tak sesuai dengan jumlah muatan, tak lagi ampuh untuk meloloskan kapal bermuatan kayu ilegal melenggang bebas. Kini petugas keamanan di pelabuhan lebih sulit disuap. "Sekarang kalau izinnya nggak ada nggak bisa. Sekarang kalau seumpamanya 1.800 kubik di dokumen juga begitu, terus lolos. Karena sekarang petugas tidak minta lebih tinggi. Tidak bisa mengambil keuntungan, yang penting sesuai muatan, sesuai dokumen," ujarnya.

Meski tak menampik, ada juga satu-dua kapal lolos pemeriksaan. "Boleh dikata itu satu-dua. Bagi yang berani keluar biaya lebih, lebih kuat duitnya, bisa," ujar pria yang pernah tenggelam bersama kapalnya di Laut Sulawesi ini.

Mengangkut Penumpamg Gelap

Selain tak lagi berani membawa kayu ilegal, Anwar juga tak berani mengangkut penumpang selain ABK. Dulu penumpang gelap menjadi penghasilan tambahan. "Di laut sekarang sering ada razia. Bisa kena semua. Dulu sih sering ada lolos. Pokoknya kini bukan hanya penumpang yang kena razia, seluruh anak buah kapal digeledah." Menurut Anwar, kondisi sekarang jauh lebih kejam dibandingkan dulu. "Sekarang temen sendiri aja, mau ke Pontianak, punya kerabat di sana, mau ke sana jalan-jalan, tidak bisa, walaupun temen."

Jika bisa memilih, Anwar tentu memilih keadaan seperti dulu, dan ia tak perlu merasa kekurangan. Apalagi risiko yang ditanggung sebagai pelaut tak sebanding dengan upah. Sebagai juru mudi, ia tidak mendapat asuransi, baik jiwa maupun kesehatan. Juga tak ada tunjangan bagi keluarganya. "Kalau saya dulu lebih senang. Istilahnya kita mau belanjakan langkah kaki itu lebih jauh. Kalau sekarang boleh dikata setengah meter jadi halangan. Kalau dulu mau ke mana-mana mau beli apa kek tercapai. Sekarang nggak bisa."

Sepinya kegiatan di Pelabuhan Sunda Kelapa juga diungkapkan Tukijan, yang lebih dari 30 tahun menjadi buruh bongkar-muat. Dulu kegiatan bongkar-muat ramai sekali, termasuk bongkar-muat kayu. "Kalau dulu waktu periode Pak Harto, banyak, rame, bisa sampe 10 perahu. Kalau sekarang cuma satu-dua. Ini aja dah satu minggu," ujarnya sambil mengantre untuk mengangkut kayu dari KM Merpati ke truk. "Waktu Pak SBY aja nih agak kurang muatan kayu."

Tukijan bercerita beberapa waktu lalu banyak sekali kayu disita. "Biasanya gara-gara dokumennya. Pemerintah kan nggak mau dirugikan, toh?" kata lelaki 60 tahun ini dengan wajah muram. Muatan kayu juga membawa rezeki bagi kuli bongkar-muat seperti kakek tiga cucu ini. Dari mengangkut satu kubik dia mendapat upah Rp 7.500. Dalam sehari dia bisa mengantongi Rp 35 ribu. (E2)

0 comments:

Newer Post Older Post Home