Adat melarang anak Baduy sekolah. Upaya memberantas buta aksara pun menghadapi kendala.

HUJAN pagi itu turun deras, tapi tak mengurangi keceriaan bocah-bocah itu. Sambil berebah mereka melempar belasan batangan bambu seukuran tusuk sate. Bocah-bocah Baduy Luar --masyarakat adat yang tinggal di Provinsi Banten-- itu tengah bermain enclek di teras rumah Marno.
Marno dan anak-anak Baduy lain tak bersekolah. Adat tidak memperbolehkan. Jadi, aktivitas bocah-bocah ini bermain atau ke ladang. Mereka belajar di ruang yang sangat luas, seluas alam yang mereka tinggali, dengan cara yang menyenangkan. Sambil bermain enclek, mereka bisa belajar berhitung. Tentu saja kemampuan mereka dalam membaca dan berhitung sangat terbatas. Maklum mereka belajar sendiri tanpa pembimbing.

Menurut Kang Sarpin, salah seorang pegiat pengentasan buta aksara masyarakat Baduy, orang tua mereka langsung mengajari membaca dan berhitung. Banyak orang tua yang tidak bisa membaca dan berhitung, seperti orang tua Kang Sarpin. Hingga usianya menginjak 13 tahun, pria berkulit sawo matang ini tidak bisa membaca dengan lancar. Untunglah Kang Sarpin menemukan solusi. “Waktu kecil belajar di rumah tetangga. Bawa buku dari rumah, bawa pensil, terus ngumpul sama teman-teman di gazebo, saya belajar menulis dan membaca,” katanya.
Ketika itu semangat belajarnya sangat besar. Ia sadar buta huruf bisa membuatnya buta segalanya. ”Dengan bisa membaca, pergi ke mana-mana gampang, melihat apa-apa juga jadi tahu,” ujar pria berusia 37 tahun ini.


Tak semua anak Baduy mempunyai semangat belajar yang besar seperti Sarpin. Tak heran jika angka buta aksara di wilayah ini lumayan tinggi. Berangkat dari pengalaman pribadi, Sarpin memberanikan diri membantu tetangganya belajar membaca.

Setiap sore sepulang dari ladang, Sarpin berkeliling ke rumah-rumah tetangga yang ingin belajar membaca. Sejak 1994, berbekal papan dan arang sebagai pengganti spidol, Sarpin “bergerilya”, menyambangi muridnya satu per satu. Kadang kala ada juga siswanya yang datang ke rumah. Kata pria berkumis ini, sebenarnya adat tidak melarang mereka belajar membaca, asal sesuai aturan. “Yang penting jangan ada tempat satu rumah, tempat belajar. Didatengin saja ke rumah-rumah,” tegas pria yang juga kader Pos Pelayanan Terpadu ini.

Kegigihannya mengajar baca-tulis menginspirasi Wadah Musyawarah Masyarakat Baduy (WAMMDY). WAMMDY mempercayai Sarpin sebagai koordinator tutor pemberantasan buta aksara. Ini adalah program Pemerintah Daerah Baten dalam upaya Pengentasan Buta Aksara 2009. Program ini berlangsung selama enam bulan. Awalnya tetua adat tidak melarang program ini, asal memanfaatkan tutor dari lingkungan Baduy sendiri. Namun setelah program berjalan, muncul penolakan di mana-mana. “Sudah jalan, ada bentrokan dengan adat. Nggak boleh (mengajari baca tulis). Sempet berhenti dulu beberapa bulan,” kata Sarpin.

Sebelumnya Sarpin tak mengalami kendala yang begitu besar. “Begitu masuk program ini, terus mencuat berita di publik, terus orang-orang adat tahu ini program pemerintah, jadi ada salah anggapan,” kata Sarpin. “Katanya di sini mau dijadikan kantor sekolahan, jadi mau di dirikan sekolahan,” tambahnya.

Sarpin sempat stress berat, apalagi ketika salah seorang tutor mengundurkan diri. Sarpin terpaksa mengajar di dua desa sekaligus. Jika program ini terhenti, sisiwanya bisa telantar. Sebab kini semakin banyak warga Baduy yang membutuhkan kemampuan baca tulis. Apalagi kini mereka sudah sering berhubungan dagang dengan dunia luar, bahkan hingga ke Jakarta. “Kalau ketahuan bisa mungkin kena sanksi. Beresiko sebetulnya. Begitu masuk banyak tantangan, saya nggak kebayang, tantangannya seberat ini,”ujarnya sambil tersenyum getir.

Menurut Sarpin sistem belajar yang mereka lakukan tak jauh berbeda dengan sisitem belajar mandiri yang selama ini sudah berjalan. Materi pelajarannya hanya membaca, menulis dan berhitung. Siswa belajar terbagi menjadi empat kelompok di empat desa, agar tak terlalu mencolok. Satu kelompok terdiri dari sepuluh orang siswa dengan satu tutor. Seminggu sekali selama satu sampai dua jam, mereka belajar bersama di salah satu rumah yang disepakati. Tak ada meja dan kursi, apalagi ruang kelas. Metode belajarnya pun tak formal. “Misalnya lagi berkumpul di satu rumah, di gajeboh misalnya. Sambil ngobrol-ngobrol menjelaskan: ini a, ini b ini c,” kata Sarpin.

Meski menghadapi tantangan berat, Sarpin tak mau mundur. Ia punya alasan sendiri, “saya menginginkan masyarakat ini supaya pada bisa baca,” katanya.

Sekarang, program keaksaraan fungsional sudah selesai. Empat puluh siswa sarpin telah menempuh ujian. Jika lulus, mereka akan mendapat Sukma, surat keterangan bisa membaca.
Bagi Misnah, ibu berusia 32 tahun ini, bukan Sukma yang membuat hatinya girang. Dengan bisa membaca, Misnah tak lagi keliru memilih produk makanan dan rumah tangga untuk anaknya. Tidak seperti pengalaman kocak temannya dari desa tetangga, yang keliru karena tak bisa membaca. “Bulan kemarin ada kejadian itu, Leuwi Bulur, sekarang di warung-warung banyak itu mama lemon itu buat nyuci piring, disangkanya itu minuman,” katanya.

Sedangkan bagi Mulyono, bocah berusia 12 tahun, kemampuan membaca membuatnya bisa berkelana lewat buku. Sekarang bocah berkulit coklat ini gandrung komik. Tak puas hanya bisa membaca, Mul belajar berhitung. Kemampuannya itu menjadi bekalnya saat mengikuti pameran ke beberapa sekolah berstandar Internasional di Jakarta dan Parung, Bogor. “Rasanya jadi pengin sekolah. Pinginnya karena banyak temen-temen dan bisa bikin pintar,” kata Mul. “Kalau misalnya dibolehin (oleh adat), pasti lah (saya sekolah),” tambahnya. (liza desylanhi. foto:Adri Irianto)

(Naskah ini di muat di situs vhrmedia.com 2 Mei 2008)

0 comments:

Newer Post Home