Ia mengabdikan hidupnya untuk memperbaiki alam. Berjuang mengembalikan kesuburan tanah.
Di Kecamatan Jalan Cagak, Subang, tak ada yang tak mengenal sosok Teddy Cucu Suhaya. Pria berperawakan sedang dan berkulit hitam ini akrab dipanggil Aang. Ia penggerak petani Subang, Jawa Barat, agar ramah pada lingkungan.
Setiap hari Aang selalu ditemani rokok Minak Djinggo. Dengan sepeda motor buatan 1976 ia menyusuri jalan-jalan kampung yang becek dan curam untuk menemui para petani. Tujuannya cuma satu, mengajak para petani di Kabupaten Subang melestarikan alam.
Kegundahan Aang berawal dari melihat kenyataan sungai-sungai di sana mengering, disusul merosotnya produksi padi. Menurut pria kelahiran Cianjur 12 Desember 1957 ini, penurunan produksi padi bukan hanya akibat sungai mengering, melainkan juga karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara berlebihan.
Inspirasi datang pada 1983 saat ayah dua anak ini hijrah dari kampungnya, Sukabumi, ke Subang, tepatnya di Kampung Cinengah, Curugrendeng. Dulu Aang dalang wayang golek. Sambil mendalang, dia berbisnis mebel dan kusen. Ia sama sekali tak ingin menjadi petani. Apalagi sebagian keluarganya merupakan birokrat tingkat desa dan kecamatan. Pria lulusan sekolah teknik ini hanya tertarik pada mebel dan otomotif.
Namun, pernikahan Aang dengan Warmah, anak petani asal Subang, membuatnya tertarik bertani. Apalagi mayoritas tetangganya adalah petani. Setelah menjalani profesi baru ini Aang sadar betapa sulit menjadi petani. Jangankan bisa kaya, untuk menyekolahkan anak saja banyak petani yang kesulitan.
Aang mulai penasaran. Ia mencoba mencari penyebabnya. Ternyata biaya produksi yang dikeluarkan petani dari waktu ke waktu semakin meningkat akibat rusaknya alam dan pestisida. Pada tahun 2005 Aang membantu Masyarakat Peduli Alam Subang yang ia ketuai. Organisasinya bergerak di bidang rehabilitasi pertanian, kehutanan, dan lingkungan hidup. Kini organisasi itu memiliki 30 kelompok tani, yang tiap kelompok beranggotakan sekitar 20 orang. Kelompok itu menyebar di enam desa di Subang.
Masyarakat Peduli Alam Subang mengampanyekan penggunaan pestisida nabati dan pupuk organik. Menurut Aang, penggunaan pestisida nabati dan pupuk organik telah terbukti berhasil merehabilitasi tanah yang jenuh pestisida dan pupuk kimia. Selain murah, pestisida nabati dan pupuk organik mampu meningkatkan hasil panen sampai dua kali lipat. Sebab, dengan menggunakan dua bahan alami itu unsur hara tanah meningkat, sementara tingkat keasamannya menurun. Selain itu, predator yang berguna bagi petani tidak terbunuh dan hasil tanamannya tidak berbahaya bagi manusia.
Aang memproduksi pestisida nabati untuk para petani. Ia mendapat ilmu membuat pestisida nabati dari Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) pada 1987.
Menurut dia, cara membuat pestisida nabati mudah dan bahannya murah. Bahan yang digunakan adalah daun picung, mindi, buah gadung, suren, kenikir, brotowali, kunyit, kencur, tembakau, kecubung, sambiloto, lengkuas, sereh, dan daun cengkeh. Tanaman-tanaman itu pun terdapat di kampung dan hutan.
Pembuatan pestisida dan pupuk organik turun-temurun dari orang tua dulu diserap?
Sebetulnya orang tua dulu sudah bisa membuat pestisida nabati, tapi secara tidak langsung seperti kalau masa buah belum berisi itu sering membakar daun surian untuk mengusir hama kungkang (walang sangit). Kalau sekarang, bukan begitu karena ditunjang dengan teknologi, walaupun teknologi manual. Jadi, dibikin ramuan yang hasilnya cairan disemprotkan langsung.
Bagaimana pembuatan pestisida nabati itu?
Pada dasarnya, pembuatannya sangat mudah, tanpa uang bisa jalan. Karena langsung mengambil daun-daun. Pestisida nabati itu terbuat dari daun-daun yang memang mengandung racun, ditumbuk atau digiling jadi cairan. Memang dosisnya tidak sama antara satu tanaman dan tanaman lain. Jenis-jenis tanaman yang mengandung racun itu nggak sama nilai racunnya. Misalnya, gadung itu memiliki racun keras, maka penggunaannya disesuaikan kebutuhan.
Jadi, semua orang pasti bisa?
Pasti bisa! Jangankan orang desa, orang Jakarta juga bisa bikin kalau lihat langsung bikinnya.
Bahan bakunya mudah didapat?
Mudah didapat. Gadung bentuknya kayak ubi, beracun tapi lezat juga. Nggak usah ditumbuk, dioleskan saja kulitnya, walang sangit kabur.
Jadi, bau batang pohon ini bisa mengusir hama?
Nah, bau batang pohon ini bisa mengusir walang sangit, karena daunnya beracun. Hanya, rumitnya, kita harus memanjat pohon untuk mendapatkannya. Petani malas melakukan itu.
Tanaman ini bisa dibudidayakan di sekitar rumah?
Sebetulnya sudah mulai dibudidayakan, tapi tetap susah, karena buah gadung muncul hanya pada musim kemarau. Jadi, bulan Agustus biasanya panen gadung. Nah, sekarang para petani mulai menanam gadung di pinggiran rumah. Berarti sekarang bahan baku yang dibutuhkan mulai ditanam di dekat-dekat rumah.
Namun, hingga kini pembuatan pestisida nabati masih manual. Aang bercita-cita membuat mesin pembuat pestisida nabati agar hasilnya lebih banyak. Apalagi ia baru saja menemukan mesin pengupas kulit kopi. Dengan mesin itu para petani yang dulu mengupas kopi secara manual kini produksiya meningkat.
Karena memburu daun-daun itu, hampir tiap hari Aang menyusuri hutan ditemani Aji, cucunya yang berumur tujuh tahun. Ia sengaja mengajak cucunya untuk mendidik kecintaan terhadap alam.
Bahan-bahan itu semakin langka seiring dengan berkurangnya hutan. Karena itu Aang menanami lahan kritis dengan tanaman bahan pestisida nabati. Tananam itu selain menyuplai bahan pestisida, juga mampu mengembalikan mata air yang mati akibat penggundulan. Ia menargetkan tahun ini bisa menanami 100 hektare lahan kritis. Namun Aang selalu mengalami kesulitan biaya untuk pengadaan bibit yang harganya Rp 3 ribu per batang.
Bagaimana kasiat pupuk organik dan pestisida nabati sebenarnya?
Lebih baik dari pestisida kimia! Seperti yang telah dicoba di Desa Ponggang. Biasanya pakai pupuk kimia anorganik menghasilkan 5 sampai 6 ton padi per hektare. Dengan pupuk organik hasilnya mencapai 9 sampai 10 ton. Itu sama sekali tidak pakai pastisida kimia! Pakai pestisida organik!
Berapa dosis untuk setiap satu musim tanam?
Perbandingannya, tergantung hamanya, ada yang pakai dosis ¼ liter dicampur air 50 liter atau 20 liter. Kalau hamanya lebih ganas, dosisnya harus lebih keras. Itu tergantung kebutuhan. Takarannya sudah tertera di botol, tapi kalau masyarakat pakai feeling saja nggak apa-apa. Sebab, untuk pestisida nabati, kelebihan dosis nggak berdampak jelek karena bahannya alami. Kalau pestisida ini kena tanah, unsur haranya bagus juga.
Walau ingin memproduksi pestisida nabati secara modern, Aang tidak ingin bekerja sama dengan perusahaan. Ia takut jika pestisida nabati diproduksi perusahaan harganya jadi tinggi dan petani akan kembali menjadi korban. Ia ingin produksi dilakukan masyarakat secara mandiri, walau hingga hari ini tak ada modal. Namun, Aang tak patah arang. Ia mengajak anggota kelompoknya mengumpulkan dana untuk memproduksi pestisida nabati.
Kini Aang menyerahkan sawahnya kepada anak sulungnya. Dia ingin berkosentrasi melestarikan alam dan membuat pestisida nabati. (E2)
Naskah ini dipublikasikan di voice of human right website pada 7 Juni 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment